Senin, 06 Mei 2013

UU RI No: 13 th 2003 tentang Ketenagakerjaan


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA 
NOMOR 13 TAHUN 2003 
TENTANG 
KETENAGAKERJAAN 

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 


Menimbang : 

a. bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia 
Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk 
mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materiil 
maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik 
Indonesia Tahun 1945; 
b. bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai peranan 
dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan; 
c. bahwa sesuai dengan peranan dan kedudukan tenaga kerja, diperlukan pembangunan 
ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja dan peransertanya dalam 
pembangunan serta peningkatan perlindungan tenaga kerja dan keluarganya sesuai 
dengan harkat dan martabat kemanusiaan; 
d. bahwa perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak hak 
dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa 
diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan 
keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha; 
e. bahwa beberapa undang undang di bidang ketenagakerjaan dipandang sudah tidak 
sesuai lagi dengan kebutuhan dan tuntutan pembangunan ketenagakerjaan, oleh karena 
itu perlu dicabut dan/atau ditarik kembali; 
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut pada huruf a, b, c, d, dan e 
perlu membentuk Undang undang tentang Ketenagakerjaan; 
Mengingat : 
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28, dan Pasal 33 ayat (1) 
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 


Dengan persetujuan bersama antara 
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA 
DAN 
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA 


MEMUTUSKAN : 


Menetapkan : 
UNDANG-UNDANG TENTANG KETENAGAKERJAAN. 


BAB I 
KETENTUAN UMUM 



Pasal 1 
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan : 

1. 
Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu 
sebelum, selama, dan sesudah masa kerja. 
2. 
Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna 
menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun 
untuk masyarakat. 

3. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan 
dalam bentuk lain. 
4. 
Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan 
lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam 
bentuk lain. 
5. 
Pengusaha adalah :
a. 
orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu 
perusahaan milik sendiri; 
b. 
orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri 
menjalankan perusahaan bukan miliknya; 
c. 
orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia 
mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang 
berkedudukan di luar wilayah Indonesia. 
6. 
Perusahaan adalah : 
a. 
setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, 
milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik 
negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan 
dalam bentuk lain; 
b. 
usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan 
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk 
lain. 
7. 
Perencanaan tenaga kerja adalah proses penyusunan rencana ketenagakerjaan secara 
sistematis yang dijadikan dasar dan acuan dalam penyusunan kebijakan, strategi, dan 
pelaksanaan program pembangunan ketenagakerjaan yang berkesinambungan. 
8. 
Informasi ketenagakerjaan adalah gabungan, rangkaian, dan analisis data yang 
berbentuk angka yang telah diolah, naskah dan dokumen yang mempunyai arti, nilai 
dan makna tertentu mengenai ketenagakerjaan. 
9. 
Pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh, 
meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin, sikap, 
dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai dengan jenjang 
dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan. 
10. Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek 
pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang sesuai dengan standar yang 
ditetapkan. 
11. Pemagangan adalah bagian dari sistem pelatihan kerja yang diselenggarakan secara 
terpadu antara pelatihan di lembaga pelatihan dengan bekerja secara langsung di 
bawah bimbingan dan pengawasan instruktur atau pekerja/buruh yang lebih 
berpengalaman, dalam proses produksi barang dan/atau jasa di perusahaan, dalam 
rangka menguasai keterampilan atau keahlian tertentu. 
12. Pelayanan penempatan tenaga kerja adalah kegiatan untuk mempertemukan tenaga 
kerja dengan pemberi kerja, sehingga tenaga kerja dapat memperoleh pekerjaan yang 
sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya, dan pemberi kerja dapat memperoleh 
tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhannya. 
13. Tenaga kerja asing adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja 
di wilayah Indonesia. 
14. Perjanjian 
kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau 
pemberi kerja yang memuat syarat syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. 
15. Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan 
perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. 
16. Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku 
dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, 
pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai nilai Pancasila dan Undang 
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 
17. Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk 
pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, 
terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, 

membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan 
kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya. 

18. Lembaga kerja sama bipartit adalah forum komunikasi dan konsultasi mengenai halhal 
yang berkaitan dengan hubungan industrial di satu perusahaan yang anggotanya 
terdiri dari pengusaha dan serikat pekerja/ serikat buruh yang sudah tercatat instansi 
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan atau unsur pekerja/buruh. 
19. Lembaga kerja sama tripartit adalah forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah 
tentang masalah ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri dari unsur organisasi 
pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah. 
20. Peraturan perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha 
yang memuat syarat syarat kerja dan tata tertib perusahaan. 
21. Perjanjian kerja bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara 
serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat 
pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, 
atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat syarat 
kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak. 
22. Perselisihan 
hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan 
pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau 
serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan 
kepentingan, dan perselisihan pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antar 
serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan. 
23. Mogok kerja adalah tindakan pekerja/buruh yang direncanakan dan dilaksanakan 
secara bersama-sama dan/atau oleh serikat pekerja/serikat buruh untuk menghentikan 
atau memperlambat pekerjaan. 
24. Penutupan 
perusahaan (lock out) adalah tindakan pengusaha untuk menolak 
pekerja/buruh seluruhnya atau sebagian untuk menjalankan pekerjaan. 
25. Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal 
tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan 
pengusaha. 
26. Anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun. 
27. Siang hari adalah waktu antara pukul 06.00 sampai dengan pukul 18.00. 
28. 1 (satu) hari adalah waktu selama 24 (dua puluh empat) jam. 
29. Seminggu adalah waktu selama 7 (tujuh) hari. 
30. Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang 
sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang 
ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan 
perundang undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas 
suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan. 
31. Kesejahteraan pekerja/buruh adalah suatu pemenuhan kebutuhan dan/atau keperluan 
yang bersifat jasmaniah dan rohaniah, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja, 
yang secara langsung atau tidak langsung dapat mempertinggi produktivitas kerja 
dalam lingkungan kerja yang aman dan sehat. 
32. Pengawasan 
ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi dan menegakkan 
pelaksanaan peraturan perundang undangan di bidang ketenagakerjaan. 
33. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. 
BAB II 
LANDASAN, ASAS, DAN TUJUAN 


Pasal 2 
Pembangunan ketenagakerjaan berlandaskan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara 
Republik Indonesia Tahun 1945. 

Pasal 3 
Pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan melalui 
koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah. 


Pasal 4 

Pembangunan ketenagakerjaan bertujuan : 

a. 
memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi; 
b. 
mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai 
dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah; 
c. 
memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan; dan 
d. 
meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya. 
BAB III 
KESEMPATAN DAN PERLAKUAN YANG SAMA 

Setiap tenaga kerja 
memperoleh pekerjaan. 
memiliki 
Pasal 5 
kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk 
Pasal 6 

Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari 
pengusaha. 

BAB IV 
PERENCANAAN TENAGA KERJA DAN 
INFORMASI KETENAGAKERJAAN 


Pasal 7 

(1) Dalam rangka pembangunan ketenagakerjaan, pemerintah menetapkan kebijakan dan 
menyusun perencanaan tenaga kerja. 
(2) Perencanaan tenaga kerja meliputi : 
a. 
perencanaan tenaga kerja makro; dan 
b. 
perencanaan tenaga kerja mikro. 
(3) Dalam 
penyusunan kebijakan, strategi, dan pelaksanaan program pembangunan 
ketenagakerjaan yang berkesinambungan, pemerintah harus berpedoman pada 
perencanaan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). 
Pasal 8 

(1) Perencanaan tenaga kerja disusun atas dasar informasi ketenagakerjaan yang antara 
lain meliputi : 
a. 
penduduk dan tenaga kerja; 
b. kesempatan kerja; 
c. 
pelatihan kerja termasuk kompetensi kerja; 
d. produktivitas tenaga kerja; 
e. 
hubungan industrial; 
f. 
kondisi lingkungan kerja; 
g. 
pengupahan dan kesejahteraan tenaga kerja; dan 
h. 
jaminan sosial tenaga kerja. 
(2) 
Informasi ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diperoleh dari 
semua pihak yang terkait, baik instansi pemerintah maupun swasta. 
(3) 
Ketentuan mengenai tata cara memperoleh informasi ketenagakerjaan dan penyusunan 
serta pelaksanaan perencanaan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) 
diatur dengan Peraturan Pemerintah. 
BAB V 
PELATIHAN KERJA 

Pasal 9 
Pelatihan kerja diselenggarakan dan diarahkan untuk membekali, meningkatkan, dan 
mengembangkan kompetensi kerja guna meningkatkan kemampuan, produktivitas, dan 
kesejahteraan. 


Pasal 10 

(1) Pelatihan kerja dilaksanakan dengan memperhatikan kebutuhan pasar kerja dan dunia 
usaha, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja. 
(2) Pelatihan kerja diselenggarakan berdasarkan program pelatihan yang mengacu pada 
standar kompetensi kerja. 
(3) Pelatihan kerja dapat dilakukan secara berjenjang. 
(4) Ketentuan mengenai tata cara penetapan standar kompetensi kerja sebagaimana 
dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri. 
Pasal 11 
Setiap tenaga kerja berhak untuk memperoleh dan/atau meningkatkan dan/atau 
mengembangkan kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya 
melalui pelatihan kerja. 

Pasal 12 

(1) Pengusaha bertanggung jawab atas peningkatan dan/atau pengembangan kompetensi 
pekerjanya melalui pelatihan kerja. 
(2) Peningkatan dan/atau pengembangan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam ayat 
(1) diwajibkan bagi pengusaha yang memenuhi persyaratan yang diatur dengan 
Keputusan Menteri. 
(3) Setiap pekerja/buruh memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti pelatihan kerja 
sesuai dengan bi-dang tugasnya. 
Pasal 13 

(1) Pelatihan kerja diselenggarakan oleh lembaga pelatihan kerja pemerintah dan/atau 
lembaga pelatihan kerja swasta. 
(2) Pelatihan kerja dapat diselenggarakan di tempat pelatihan atau tempat kerja. 
(3) Lembaga pelatihan kerja pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam 
menyelenggarakan pe-latihan kerja dapat bekerja sama dengan swasta. 
Pasal 14 

(1) Lembaga 
pelatihan kerja swasta dapat berbentuk badan hukum Indonesia atau 
perorangan. 
(2) Lembaga 
pelatihan kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib 
memperoleh izin atau men daftar ke instansi yang bertanggung jawab di bidang 
ketenagakerjaan di kabupaten/kota. 
(3) Lembaga pelatihan kerja yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah mendaftarkan 
kegiatannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di 
kabupaten/kota. 
(4) Ketentuan mengenai tata cara perizinan dan pendaftaran lembaga pelatihan kerja 
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri. 
Pasal 15 
Penyelenggara pelatihan kerja wajib memenuhi persyaratan : 

a. 
tersedianya tenaga kepelatihan; 
b. 
adanya kurikulum yang sesuai dengan tingkat pelatihan; 
c. 
tersedianya sarana dan prasarana pelatihan kerja; dan 
d. 
tersedianya dana bagi kelangsungan kegiatan penyelenggaraan pelatihan kerja. 
Pasal 16 

(1) Lembaga pelatihan kerja swasta yang telah memperoleh izin dan lembaga pelatihan 
kerja pemerintah yang telah terdaftar dapat memperoleh akreditasi dari lembaga 
akreditasi. 
(2) Lembaga akreditasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bersifat independen terdiri 
atas unsur masya rakat dan pemerintah ditetapkan dengan Keputusan Menteri. 

(3) Organisasi dan tata kerja lembaga akreditasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) 
diatur dengan Keputusan Menteri. 
Pasal 17 

(1) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota dapat 
menghentikan seme ntara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja, apabila dalam 
pelaksanaannya ternyata : 
a. 
tidak sesuai dengan arah pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9; 
dan/atau 
b. 
tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15. 
(2) Penghentian 
sementara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja sebagaimana 
dimaksud dalam ayat (1), disertai alasan dan saran perbaikan dan berlaku paling lama 
6 (enam) bulan. 
(3) Penghentian sementara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja hanya dikenakan 
terhadap program pelatihan yang tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 9 dan Pasal 15. 
(4) Bagi penyelenggara pelatihan kerja dalam waktu 6 (enam) bulan tidak memenuhi dan 
melengkapi saran per baikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dikenakan sanksi 
penghentian program pelatihan. 
(5) Penyelenggara pelatihan kerja yang tidak menaati dan tetap melaksanakan program 
pelatihan kerja yang telah dihentikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dikenakan 
sanksi pencabutan izin dan pembatalan pendaftaran penyelenggara pelatihan. 
(6) Ketentuan mengenai tata cara penghentian sementara, penghentian, pencabutan izin, 
dan pembatalan pendaftaran diatur dengan Keputusan Menteri. 
Pasal 18 

(1) Tenaga kerja berhak memperoleh pengakuan kompetensi kerja setelah mengikuti 
pelatihan kerja yang di selenggarakan lembaga pelatihan kerja pemerintah, lembaga 
pelatihan kerja swasta, atau pelatihan di tempat kerja. 
(2) Pengakuan kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui 
sertifikasi kompe tensi kerja. 
(3) Sertifikasi kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat pula diikuti 
oleh tenaga kerja yang telah berpengalaman. 
(4) Untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja dibentuk badan nasional sertifikasi 
profesi yang inde penden. 
(5) Pembentukan 
badan nasional sertifikasi profesi yang independen sebagaimana 
dimaksud dalam ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 
Pasal 19 
Pelatihan kerja bagi tenaga kerja penyandang cacat dilaksanakan dengan memperhatikan 

jenis, derajat kecacatan, dan kemampuan tenaga kerja penyandang cacat yang 
bersangkutan. 
Pasal 20 
(1) Untuk mendukung peningkatan pelatihan kerja dalam rangka pembangunan 

ketenagakerjaan, dikembang kan satu sistem pelatihan kerja nasional yang merupakan 
acuan pelaksanaan pelatihan kerja di semua bidang dan/atau sektor. 

(2) Ketentuan mengenai bentuk, mekanisme, dan kelembagaan sistem pelatihan kerja 
nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 
Pasal 21 
Pelatihan kerja dapat diselenggarakan dengan sistem pemagangan. 

Pasal 22 

(1) Pemagangan dilaksanakan atas dasar perjanjian pemagangan antara peserta dengan 
pengusaha yang di buat secara tertulis. 

(2) Perjanjian pemagangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sekurang-kurangnya 
memuat ketentuan hak dan kewajiban peserta dan pengusaha serta jangka waktu 
pemagangan. 
(3) Pemagangan yang diselenggarakan tidak melalui perjanjian pemagangan sebagaimana 
dimaksud dalam ayat (1), dianggap tidak sah dan status peserta berubah menjadi 
pekerja/buruh perusahaan yang bersangkutan. 
Pasal 23 
Tenaga kerja yang telah mengikuti program pemagangan berhak atas pengakuan 
kualifikasi kompetensi kerja dari perusahaan atau lembaga sertifikasi. 

Pasal 24 
Pemagangan dapat dilaksanakan di perusahaan sendiri atau di tempat penyelenggaraan 
pelatihan kerja, atau perusahaan lain, baik di dalam maupun di luar wilayah Indonesia. 

Pasal 25 

(1) Pemagangan yang dilakukan di luar wilayah Indonesia wajib mendapat izin dari 
Menteri atau pejabat yang ditunjuk. 
(2) Untuk 
memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penyelenggara 
pemagangan harus ber bentuk badan hukum Indonesia sesuai dengan peraturan 
perundang-undangan yang berlaku. 
(3) Ketentuan 
mengenai tata cara perizinan pemagangan di luar wilayah Indonesia 
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Keputusan Menteri. 
Pasal 26 

(1) Penyelenggaraan pemagangan di luar wilayah Indonesia harus memperhatikan : 
a. 
harkat dan martabat bangsa Indonesia; 
b. 
penguasaan kompetensi yang lebih tinggi; dan 
c. 
perlindungan dan kesejahteraan peserta pemagangan, termasuk melaksanakan 
ibadahnya. 
(2) Menteri atau pejabat yang ditunjuk dapat menghentikan pelaksanaan pemagangan di 
luar wilayah Indo nesia apabila di dalam pelaksanaannya ternyata tidak sesuai dengan 
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). 
Pasal 27 

(1) Menteri dapat mewajibkan kepada perusahaan yang memenuhi persyaratan untuk 
melaksanakan program pemagangan. 
(2) Dalam menetapkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Menteri harus 
memperhatikan ke pentingan perusahaan, masyarakat, dan negara. 
Pasal 28 

(1) Untuk 
memberikan saran dan pertimbangan dalam penetapan kebijakan serta 
melakukan koordinasi pela tihan kerja dan pemagangan dibentuk lembaga koordinasi 
pelatihan kerja nasional. 
(2) Pembentukan, 
keanggotaan, dan tata kerja lembaga koordinasi pelatihan kerja 
sebagaimana dimaksud da lam ayat (1), diatur dengan Keputusan Presiden. 
Pasal 29 

(1) Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah melakukan pembinaan pelatihan kerja 
dan pemagangan. 
(2) Pembinaan pelatihan kerja dan pemagangan ditujukan ke arah peningkatan relevansi, 
kualitas, dan efisien si penyelenggaraan pelatihan kerja dan produktivitas. 
(3) Peningkatan produktivitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dilakukan melalui 
pengembangan buda ya produktif, etos kerja, teknologi, dan efisiensi kegiatan 
ekonomi, menuju terwujudnya produktivitas nasional. 

Pasal 30 

(1) Untuk meningkatkan produktivitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) 
dibentuk lembaga pro duktivitas yang bersifat nasional. 
(2) Lembaga produktivitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berbentuk jejaring 
kelembagaan pelayanan peningkatan produktivitas, yang bersifat lintas sektor maupun 
daerah. 
(3) Pembentukan, 
keanggotaan, dan tata kerja lembaga produktivitas nasional 
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan Presiden. 
BAB VI 
PENEMPATAN TENAGA KERJA 


Pasal 31 
Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih, 
mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam 
atau di luar negeri. 

Pasal 32 

(1) Penempatan tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asas terbuka, bebas, obyektif, 
serta adil, dan setara tanpa diskriminasi. 
(2) Penempatan tenaga kerja diarahkan untuk menempatkan tenaga kerja pada jabatan 
yang tepat sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan 
dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi, dan perlindungan hukum. 
(3) Penempatan 
tenaga kerja dilaksanakan dengan memperhatikan pemerataan 
kesempatan kerja dan penye diaan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan program 
nasional dan daerah. 
Pasal 33 
Penempatan tenaga kerja terdiri dari : 

a. 
penempatan tenaga kerja di dalam negeri; dan 
b. 
penempatan tenaga kerja di luar negeri. 
Pasal 34 
Ketentuan mengenai penempatan tenaga kerja di luar negeri sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 33 huruf b diatur dengan undang-undang. 

Pasal 35 

(1) Pemberi kerja yang memerlukan tenaga kerja dapat merekrut sendiri tenaga kerja 
yang dibutuhkan atau melalui pelaksana penempatan tenaga kerja. 
(2) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib 
memberikan perlindu ngan sejak rekrutmen sampai penempatan tenaga kerja 
(3) Pemberi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam mempekerjakan tenaga 
kerja wajib memberi kan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan, 
dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja. 
Pasal 36 

(1) Penempatan tenaga kerja oleh pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat 
(1) dilakukan dengan memberikan pelayanan penempatan tenaga kerja. 
(2) Pelayanan penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bersifat 
terpadu dalam satu sistem penempatan tenaga kerja yang meliputi unsur-unsur : 
a. 
pencari kerja; 
b. 
lowongan pekerjaan; 
c. 
informasi pasar kerja; 
d. 
mekanisme antar kerja; dan 
e. 
kelembagaan penempatan tenaga kerja. 

(3) Unsur-unsur sistem penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) 
dapat dilaksanakan secara terpisah yang ditujukan untuk terwujudnya penempatan 
tenaga kerja. 
Pasal 37 

(1) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) 
terdiri dari : 
a. instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenaga-kerjaan; dan 
b. lembaga swasta berbadan hukum. 
(2) Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) 
huruf b dalam melak sanakan pelayanan penempatan tenaga kerja wajib memiliki izin 
tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk. 
Pasal 38 

(1) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) 
huruf a, dilarang memungut biaya penempatan, baik langsung maupun tidak langsung, 
sebagian atau keseluruhan kepada tenaga kerja dan pengguna tenaga kerja. 
(2) Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat 
(1) huruf b, hanya dapat memungut biaya penempatan tenaga kerja dari pengguna 
tenaga kerja dan dari tenaga kerja golongan dan jabatan tertentu. 
(3) Golongan dan jabatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan 
Keputusan Menteri. 
BAB VII 
PERLUASAN KESEMPATAN KERJA 


Pasal 39 


(1) Pemerintah bertanggung jawab mengupayakan perluasan kesempatan kerja baik di 
dalam maupun di luar hubungan kerja. 
(2) Pemerintah dan masyarakat bersama-sama mengupayakan perluasan kesempatan kerja 
baik di dalam maupun di luar hubungan kerja. 
(3) Semua kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah di setiap sektor diarahkan 
untuk mewujudkan per luasan kesempatan kerja baik di dalam maupun di luar 
hubungan kerja. 
(4) Lembaga keuangan baik perbankan maupun non perbankan, dan dunia usaha perlu 
membantu dan mem berikan kemudahan bagi setiap kegiatan masyarakat yang dapat 
menciptakan atau mengembangkan perluasan kesempatan kerja. 
Pasal 40 

(1) Perluasan kesempatan kerja di luar hubungan kerja dilakukan melalui penciptaan 
kegiatan yang produktif dan berkelanjutan dengan mendayagunakan potensi sumber 
daya alam, sumber daya manusia dan teknologi tepat guna. 
(2) Penciptaan 
perluasan kesempatan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) 
dilakukan dengan pola pembentukan dan pembinaan tenaga kerja mandiri, penerapan 
sistem padat karya, penerapan teknologi tepat guna, dan pendayagunaan tenaga kerja 
sukarela atau pola lain yang dapat mendorong terciptanya perluasan kesempatan kerja. 
Pasal 41 

(1) Pemerintah menetapkan kebijakan ketenagakerjaan dan perluasan kesempatan kerja. 
(2) Pemerintah 
dan masyarakat bersama-sama mengawasi pelaksanaan kebijakan 
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). 
(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dibentuk 
badan koordinasi yang beranggotakan unsur pemerintah dan unsur masyarakat. 
(4) Ketentuan mengenai perluasan kesempatan kerja, dan pembentukan badan koordinasi 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, Pasal 40, dan ayat (3) dalam pasal ini diatur 
dengan Peraturan Pemerintah. 

BAB VIII 
PENGGUNAAN TENAGA KERJA ASING 

Pasal 42 

(1) Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin 
tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk. 
(2) Pemberi kerja orang perseorangan dilarang mempekerjakan tenaga kerja asing. 
(3) Kewajiban memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak berlaku bagi 
perwakilan negara asing yang mempergunakan tenaga kerja asing sebagai pegawai 
diplomatik dan konsuler. 
(4) Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja 
untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu. 
(5) Ketentuan mengenai jabatan tertentu dan waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam 
ayat (4) ditetapkan dengan Keputusan Menteri. 
(6) Tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) yang masa kerjanya habis 
dan tidak dapat di perpanjang dapat digantikan oleh tenaga kerja asing lainnya. 
Pasal 43 

(1) Pemberi 
kerja yang menggunakan tenaga kerja asing harus memiliki rencana 
penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. 
(2) Rencana penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) 
sekurang-kurangnya memuat keterangan : 
a. alasan penggunaan tenaga kerja asing; 
b. jabatan dan/atau kedudukan tenaga kerja asing dalam struktur organisasi 
perusahaan yang bersangkutan; 
c. jangka waktu penggunaan tenaga kerja asing; dan 

d. 
penunjukan tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai pendamping tenaga kerja 
asing yang dipekerjakan. 
(3) Ketentuan 
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi instansi 
pemerintah, badan-badan internasional dan perwakilan negara asing. 
(4) Ketentuan mengenai tata cara pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing 
diatur dengan Keputu san Menteri. 
Pasal 44 

(1) Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib menaati ketentuan mengenai jabatan dan 
standar kompetensi yang berlaku. 
(2) Ketentuan mengenai jabatan dan standar kompetensi sebagaimana dimaksud dalam 
ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri. 
Pasal 45 

(1) Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib : 
a. 
menunjuk tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai tenaga pendamping tenaga 
kerja asing yang dipekerjakan untuk alih teknologi dan alih keahlian dari tenaga 
kerja asing; dan 
b. 
melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga kerja Indonesia 
sebagaimana dimaksud pada huruf a yang sesuai dengan kualifikasi jabatan yang 
diduduki oleh tenaga kerja asing. 
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kerja asing 
yang menduduki ja batan direksi dan/atau komisaris. 
Pasal 46 

(1) Tenaga kerja asing dilarang menduduki jabatan yang mengurusi personalia dan/atau 
jabatan-jabatan tertentu. 
(2) Jabatan-jabatan 
tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan 
Keputusan Menteri 

Pasal 47 

(1) Pemberi kerja wajib membayar kompensasi atas setiap tenaga kerja asing yang 
dipekerjakannya. 
(2) Kewajiban 
membayar kompensasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak 
berlaku bagi instansi pe merintah, perwakilan negara asing, badan-badan internasional, 
lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan-jabatan tertentu di lembaga 
pendidikan. 
(3) Ketentuan 
mengenai jabatan-jabatan tertentu di lembaga pendidikan sebagaimana 
dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri. 
(4) Ketentuan 
mengenai besarnya kompensasi dan penggunaannya diatur dengan 
Peraturan Pemerintah. 
Pasal 48 
Pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memulangkan tenaga kerja 
asing ke negara asalnya setelah hubungan kerjanya berakhir. 

Pasal 49 
Ketentuan mengenai penggunaan tenaga kerja asing serta pelaksanaan pendidikan dan 
pelatihan tenaga kerja pendamping diatur dengan Keputusan Presiden. 

BAB IX 
HUBUNGAN KERJA 


Pasal 50 
Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan 
pekerja/buruh. 

Pasal 51 

(1) Perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan. 
(2) Perjanjian 
kerja yang dipersyaratkan secara tertulis dilaksanakan sesuai dengan 
peraturan perundang undangan yang berlaku. 
Pasal 52 

(1) Perjanjian kerja dibuat atas dasar : 
a. 
kesepakatan kedua belah pihak; 
b. 
kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum; 
c. 
adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan 
d. 
pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, 
kesusilaan, dan peraturan perundang undangan yang berlaku. 
(2) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan 
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan b dapat dibatalkan. 
(3) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan 
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dan d batal demi hukum. 
Pasal 53 
Segala hal dan/atau biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan pembuatan perjanjian kerja 
dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab pengusaha. 

Pasal 54 

(1) Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang kurangnya memuat : 
a. 
nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha; 
b. 
nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh; 
c. 
jabatan atau jenis pekerjaan; 
d. 
tempat pekerjaan; 
e. 
besarnya upah dan cara pembayarannya; 
f. 
syarat syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh; 
g. 
mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja; 

h. 
tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dani. tanda tangan para pihak dalam 
perjanjian kerja. 
(2) Ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf e dan f, 
tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan 
peraturan perundang undangan yang berlaku. 
(3) Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat sekurang-kurangnya 
rangkap 2 (dua), yang mempunyai kekuatan hukum yang sama, serta pekerja/buruh 
dan pengusaha masing-masing mendapat 1 (satu) perjanjian kerja. 
Pasal 55 
Perjanjian kerja tidak dapat ditarik kembali dan/atau diubah, kecuali atas persetujuan para 
pihak. 

Pasal 56 

(1) Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu. 
(2) Perjanjian 
kerja untuk waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) 
didasarkan atas : 
a. 
jangka waktu; atau 
b. 
selesainya suatu pekerjaan tertentu. 
Pasal 57 

(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan 
bahasa Indonesia dan huruf latin. 
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis bertentangan dengan 
ketentuan sebagai mana dimaksud dalam ayat (1) dinyatakan sebagai perjanjian kerja 
untuk waktu tidak tertentu. 
(3) Dalam hal perjanjian kerja dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing, apabila 
kemudian terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya, maka yang berlaku 
perjanjian kerja yang dibuat dalam bahasa Indonesia. 
Pasal 58 

(1) Perjanjian 
kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa 
percobaan kerja. 
(2) Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja dalam perjanjian kerja sebagaimana 
dimaksud dalam ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan batal demi hukum. 
Pasal 59 

(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu 
yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu 
tertentu, yaitu : 
a. 
pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; 
b. 
pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama 
dan paling lama 3 (tiga) tahun; 
c. 
pekerjaan yang bersifat musiman; atau 
d. 
pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk 
tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. 
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang 
bersifat tetap. 
(3) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui. 
(4) Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat 
diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali 
untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. 
(5) Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, 
paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah 
memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan. 
(6) Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi 
masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu 

yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 
(satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun. 

(7) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana 
dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum 
menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu. 
(8) Hal-hal lain yang belum diatur dalam Pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan 
Keputusan Menteri. 
Pasal 60 

(1) Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu dapat mensyaratkan masa percobaan kerja 
paling lama 3 (tiga) bulan. 
(2) Dalam masa percobaan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengusaha 
dilarang membayar upah di bawah upah minimum yang berlaku. 
Pasal 61 

(1) Perjanjian kerja berakhir apabila : 
a. 
pekerja meninggal dunia; 
b. 
berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja; 
c. 
adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian 
perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; 
atau 
d. 
adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, 
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan 
berakhirnya hubungan kerja. 
(2) Perjanjian kerja tidak berakhir karena meninggalnya pengusaha atau beralihnya hak 
atas perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan, atau hibah. 
(3) Dalam 
hal terjadi pengalihan perusahaan maka hak-hak pekerja/buruh menjadi 
tanggung jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan 
yang tidak mengurangi hak-hak pekerja/buruh. 
(4) Dalam hal pengusaha, orang perseorangan, meninggal dunia, ahli waris pengusaha 
dapat mengakhiri per-janjian kerja setelah merundingkan dengan pekerja/buruh. 
(5) Dalam 
hal pekerja/buruh meninggal dunia, ahli waris pekerja/ buruh berhak 
mendapatkan hak haknya se-suai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku 
atau hak hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau 
perjanjian kerja bersama. 
Pasal 62 
Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu 
yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja 
bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang 
mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar 
upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja. 

Pasal 63 

(1) Dalam hal perjanjian kerja waktu tidak tertentu dibuat secara lisan, maka pengusaha 
wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang bersangkutan. 
(2) Surat 
pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sekurang kurangnya 
memuat keterangan : 
a. 
nama dan alamat pekerja/buruh; 
b. 
tanggal mulai bekerja; 
c. 
jenis pekerjaan; dan 
d. 
besarnya upah. 
Pasal 64 
Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan 
lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh 
yang dibuat secara tertulis. 


Pasal 65 

(1) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan 
melalui perjanjian pem borongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis 
(2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud 
dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : 
a. 
dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama; 
b. 
dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan; 
c. 
merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan 
d. 
tidak menghambat proses produksi secara langsung. 
(2) Perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus berbentuk badan hukum. 
(3) Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan lain 
sebagaimana dimak-sud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya sama dengan 
perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau 
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 
(4) Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) 
diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. 
(5) Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) 
diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain dan pekerja/buruh 
yang dipekerjakannya. 
(6) Hubungan 
kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dapat didasarkan atas 
perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu apabila 
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59. 
(7) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak 
terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan 
penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan 
perusahaan pemberi pekerjaan. 
(8) Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi pekerjaan sebagaimana 
dimaksud dalam ayat (8), maka hubungan kerja pekerja/buruh dengan pemberi 
pekerjaan sesuai dengan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (7). 
Pasal 66 

(1) Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan 
oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang 
berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang 
atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. 
(2) Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak 
berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai 
berikut : 
a. 
adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa 
pekerja/buruh; 
b. 
perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada 
huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak 
tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak; 
c. 
perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang 
timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; dan 
d. 
perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan lain 
yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara 
tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam undangundang 
ini. 
(3) Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan 
memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. 
(4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf b, 
dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja 
antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi 
hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan. 

BAB X 
PERLINDUNGAN, PENGUPAHAN, DAN 
KESEJAHTERAAN 


Bagian Kesatu 
Perlindungan 


Paragraf 1 
Penyandang Cacat 


Pasal 67 


(1) Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan 
perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya. 
(2) Pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai 
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 
Paragraf 2 
Anak 


Pasal 68 
Pengusaha dilarang mempekerjakan anak. 

Pasal 69 

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat dikecualikan bagi anak yang 
berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk 
melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan 
kesehatan fisik, mental, dan sosial. 
(2) Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagai-mana dimaksud 
dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan : 
a. izin tertulis dari orang tua atau wali; 
b. perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali; 
c. waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam; 
d. dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah; 
e. keselamatan dan kesehatan kerja; 
f. adanya hubungan kerja yang jelas; dan 
g. menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, b, f, dan g dikecualikan bagi 
anak yang bekerja pada usaha keluarganya. 
Pasal 70 

(1) Anak dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian dari 
kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang. 
(2) Anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit berumur 14 (empat belas) 
tahun. 
(3) Pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan dengan syarat : 
a. 
diberi petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan pekerjaan serta bimbingan dan 
pengawasan dalam melaksanakan pekerjaan; dan 
b. 
diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. 
Pasal 71 

(1) Anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya. 
(2) Pengusaha yang mempekerjakan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib 
memenuhi syarat : 
a. 
di bawah pengawasan langsung dari orang tua atau wali; 
b. 
waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari; dan 

c. 
kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu perkembangan fisik, mental, 
sosial, dan waktu sekolah. 
(3) Ketentuan mengenai anak yang bekerja untuk mengembangkan bakat dan minat 
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri. 
Pasal 72 
Dalam hal anak dipekerjakan bersama-sama dengan pekerja/buruh dewasa, maka tempat 
kerja anak harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh dewasa. 

Pasal 73 
Anak dianggap bekerja bilamana berada di tempat kerja, kecuali dapat dibuktikan 
sebaliknya. 

Pasal 74 

(1) Siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan 
yang terburuk. 
(2) Pekerjaan-pekerjaan yang terburuk yang dimaksud dalam ayat (1) meliputi : 
a. 
segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya; 
b. 
segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak untuk 
pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno, atau perjudian; 
c. 
segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau melibatkan anak untuk 
produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif 
lainnya; dan/atau 
d. 
semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak. 
(3) Jenis-jenis pekerjaaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak 
sebagaimana di-maksud dalam ayat (2) huruf d ditetapkan dengan Keputusan Menteri. 
Pasal 75 

(1) Pemerintah berkewajiban melakukan upaya penanggulangan anak yang bekerja di luar 
hubungan kerja. 
(2) Upaya 
penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan 
Peraturan Pemerintah. 
Paragraf 3 
Perempuan 


Pasal 76 


(1) Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun dilarang 
dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00. 
(2) Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut 
keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun 
dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00. 
(3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 sampai 
dengan pukul 07.00 wajib : 
a. 
memberikan makanan dan minuman bergizi; dan 
b. 
menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja. 
(4) Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh perempuan 
yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00. 
(5) Ketentuan 
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan 
Keputusan Menteri. 
Paragraf 4 
Waktu Kerja 


Pasal 77 


(1) Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja. 
(2) Waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi : 

a. 
7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 
(enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau 
b. 
8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 
(lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu. 
(3) Ketentuan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku bagi 
sektor usaha atau peker-jaan tertentu. 
(4) Ketentuan 
mengenai waktu kerja pada sektor usaha atau pekerjaan tertentu 
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri. 
Pasal 78 

(1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat : 
a. 
ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan 
b. 
waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 
(satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu. 
(2) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana 
dimaksud dalam ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur. 
(3) Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b tidak 
berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu. 
(4) Ketentuan 
mengenai waktu kerja lembur dan upah kerja lembur sebagaimana 
dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri. 
Pasal 79 

(1) Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh. 
(2) Waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi : 
a. 
istirahat antara jam kerja, sekurang kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 
4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja; 
b. 
istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu 
atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; 
c. 
cuti tahunan, sekurang kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh 
yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus; dan 
d. 
istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun 
ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah 
bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama 
dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat 
tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap 
kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun. 
(3) Pelaksanaan waktu istirahat tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c 
diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. 
(4) Hak istirahat panjang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf d hanya berlaku 
bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan tertentu. 
(5) Perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diatur dengan Keputusan 
Menteri. 
Pasal 80 
Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja/ buruh untuk 
melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya. 

Pasal 81 

(1) Pekerja/buruh 
perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan 
memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua 
pada waktu haid. 
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian 
kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. 

Pasal 82 

(1) Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) 
bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah 
melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan. 
(2) Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh 
istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter 
kandungan atau bidan. 
Pasal 83 
Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan 
sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja. 

Pasal 84 
Setiap pekerja/buruh yang menggunakan hak waktu istirahat sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 79 ayat (2) huruf b, c, dan d, Pasal 80, dan Pasal 82 berhak mendapat upah 
penuh. 

Pasal 85 

(1) Pekerja/buruh tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi. 
(2) Pengusaha dapat mempekerjakan pekerja/buruh untuk bekerja pada hari-hari libur 
resmi apabila jenis dan sifat pekerjaan tersebut harus dilaksanakan atau dijalankan 
secara terus menerus atau pada keadaan lain berdasarkan kesepakatan antara 
pekerja/buruh dengan pengusaha. 
(3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan pada hari 
libur resmi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib membayar upah kerja lembur. 
(4) Ketentuan mengenai jenis dan sifat pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) 
diatur dengan Keputusan Menteri. 
Paragraf 5 
Keselamatan dan Kesehatan Kerja 


Pasal 86 


(1) Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas : 
a. 
keselamatan dan kesehatan kerja; 
b. 
moral dan kesusilaan; dan 
c. 
perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama. 
(2) Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas kerja 
yang optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja. 
(3) Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai 
dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku. 
Pasal 87 

(1) Setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan 
kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan. 
(2) Ketentuan mengenai penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja 
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 
Bagian Kedua 
Pengupahan. 


Pasal 88 


(1) Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan 
yang layak bagi kemanusiaan. 
(2) Untuk 
mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi 
kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah menetapkan 
kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh. 
(3) Kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh sebagaimana 
dimaksud dalam 
ayat (2) meliputi : 
a. 
upah minimum; 

b. 
upah kerja lembur; 
c. 
upah tidak masuk kerja karena berhalangan; 
d. 
upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya; 
e. 
upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya; 
f. 
bentuk dan cara pembayaran upah; 
g. 
denda dan potongan upah; 
h. 
hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah; 
i. 
struktur dan skala pengupahan yang proporsional; 
j. 
upah untuk pembayaran pesangon; dan 
k. 
upah untuk perhitungan pajak penghasilan. 
(4) Pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a 
berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan mem-perhatikan produktivitas dan 
pertumbuhan ekonomi. 
Pasal 89 

(1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (3) huruf a dapat terdiri 
atas: 
a. 
upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota; 
b. 
upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota. 
(2) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diarahkan kepada pencapaian 
kebutuhan hidup layak. 
(3) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Gubernur 
dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau 
Bupati/Walikota. 
(4) Komponen serta pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan hidup layak sebagaimana 
dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri. 
Pasal 90 

(1) Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 89. 
(2) Bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 89 dapat dilakukan penangguhan. 
(3) Tata 
cara penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan 
Keputusan Menteri. 
Pasal 91 

(1) Pengaturan 
pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan 
pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari 
ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 
(2) Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah atau 
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi 
hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan 
perundang-undangan yang berlaku. 
Pasal 92 

(1) Pengusaha 
menyusun struktur dan skala upah dengan memperhatikan golongan, 
jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi. 
(2) Pengusaha 
melakukan peninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan 
kemampuan perusahaan dan produktivitas. 
(3) Ketentuan mengenai struktur dan skala upah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) 
diatur dengan Keputusan Menteri. 
Pasal 93 

(1) Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan. 
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku, dan pengusaha wajib 
membayar upah apabila : 
a. 
pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan; 

b. 
pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya 
sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan; 
c. 
pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah, menikahkan, 
mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri melahirkan atau keguguran 
kandungan, suami atau isteri atau anak atau menantu atau orang tua atau mertua 
atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia; 
d. 
pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan 
kewajiban terhadap negara; 
e. 
pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalan-kan ibadah 
yang diperintahkan agamanya; 
f. 
pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi 
pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun 
halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha; 
g. 
pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat; 
h. 
pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas persetujuan 
pengusaha; dan 
i. 
pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan. 
(3) Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang sakit sebagaimana dimaksud dalam 
ayat (2) huruf a sebagai berikut : 
a. 
untuk 4 (empat) bulan pertama, dibayar 100% (seratus perseratus) dari upah; 
b. 
untuk 4 (empat) bulan kedua, dibayar 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari upah; 
c. 
untuk 4 (empat) bulan ketiga, dibayar 50% (lima puluh perseratus) dari upah; dan 
d. 
untuk bulan selanjutnya dibayar 25% (dua puluh lima perseratus) dari upah 
sebelum pemutusan hubungan kerja dilakukan oleh pengusaha. 
(4) Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang tidak masuk bekerja sebagaimana 
dimaksud dalam ayat (2) huruf c sebagai berikut : 
a. 
pekerja/buruh menikah, dibayar untuk selama 3 (tiga) hari; 
b. 
menikahkan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari; 
c. 
mengkhitankan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari; 
d. 
membaptiskan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari; 
e. 
isteri melahirkan atau keguguran kandungan, dibayar untuk selama 2 (dua) hari; 
f. 
suami/isteri, orang tua/mertua atau anak atau menantu meninggal dunia, dibayar 
untuk selama 2 (dua) hari; dan 
g. 
anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia, dibayar untuk selama 1 
(satu) hari. 
(5) Pengaturan pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan 
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. 
Pasal 94 
Dalam hal komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap maka besarnya 
upah pokok sedikit-dikitnya 75 % (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah upah pokok 
dan tunjangan tetap. 

Pasal 95 

(1) Pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja/buruh karena kesengajaan atau kelalaiannya 
dapat dikenakan denda. 
(2) Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan 
pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah 
pekerja/buruh. 
(3) Pemerintah mengatur pengenaan denda kepada pengusaha dan/atau pekerja/buruh, 
dalam pembayaran upah. 
(4) Dalam 
hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan 
perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh 
merupakan utang yang didahulukan pem-bayarannya. 

Pasal 96 

Tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari 
hubungan kerja menjadi kadaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sejak 
timbulnya hak. 

Pasal 97 
Ketentuan mengenai penghasilan yang layak, kebijakan pengupahan, kebutuhan hidup 
layak, dan perlindungan pengupahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88, penetapan 
upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89, dan pengenaan denda 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan 
Peraturan Pemerintah. 

Pasal 98 

(1) Untuk 
memberikan saran, pertimbangan, dan merumuskan kebijakan pengupahan 
yang akan ditetapkan oleh pemerintah, serta untuk pengembangan sistem pengupahan 
nasional dibentuk Dewan Pengupahan Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota. 
(2) Keanggotaan Dewan Pengupahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari 
unsur pemerintah, organisasi pengusaha, serikat pekerja/-serikat buruh, perguruan 
tinggi, dan pakar. 
(3) Keanggotaan Dewan Pengupahan tingkat Nasional diangkat dan diberhentikan oleh 
Presiden, sedangkan keanggotaan Dewan Pengupahan Provinsi, Kabupaten/Kota 
diangkat dan diberhentikan oleh Gubenur/ Bupati/Walikota 
(4) Ketentuan 
mengenai tata cara pembentukan, komposisi keanggotaan, tata cara 
pengangkatan dan pemberhentian keanggotaan, serta tugas dan tata kerja Dewan 
Pengupahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan 
Keputusan Presiden. 
Bagian Ketiga 
Kesejahteraan 


Pasal 99 


(1) Setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan sosial tenaga 
kerja. 
(2) Jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan 
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 
Pasal 100 

(1) Untuk meningkatkan kesejahteraan bagi pekerja/buruh dan keluarganya, pengusaha 
wajib menyediakan fasilitas kesejahteraan. 
(2) Penyediaan 
fasilitas kesejahteraan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), 
dilaksanakan dengan memperhatikan kebutuhan pekerja/buruh dan ukuran 
kemampuan perusahaan. 
(3) Ketentuan mengenai jenis dan kriteria fasilitas kesejahteraan sesuai dengan kebutuhan 
pekerja/buruh dan ukuran kemampuan perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 
(1) dan ayat (2), diatur dengan Peraturan Pemerintah. 
Pasal 101 

(1) Untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh, dibentuk koperasi pekerja/buruh 
dan usaha-usaha produktif di perusahaan. 
(2) Pemerintah, pengusaha, dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh berupaya 
menumbuhkembangkan koperasi pekerja/buruh, dan mengembangkan usaha produktif 
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). 
(3) Pembentukan koperasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan sesuai 
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 
(4) Upaya-upaya 
untuk menumbuhkembangkan koperasi pekerja/buruh sebagaimana 
dimaksud dalam ayat (2), diatur dengan Peraturan Pemerintah. 

BAB XI 
HUBUNGAN INDUSTRIAL 
Bagian Kesatu 
Umum 


Pasal 102 


(1) Dalam melaksanakan hubungan industrial, pemerintah mempunyai fungsi menetapkan 
kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan, dan melakukan 
penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. 
(2) Dalam melaksanakan hubungan industrial, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat 
buruhnya mempunyai fungsi menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya, 
menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara 
demokratis, mengembangkan keterampilan, dan keahliannya serta ikut memajukan 
perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya. 
(3) Dalam melaksanakan hubungan industrial, pengusaha dan organisasi pengusahanya 
mempunyai fungsi menciptakan kemitraan, mengembang-kan usaha, memperluas 
lapangan kerja, dan memberikan kesejahteraan pekerja/buruh secara terbuka, 
demokratis, dan berkeadilan. 
Pasal 103 
Hubungan Industrial dilaksanakan melalui sarana : 

a. 
serikat pekerja/serikat buruh; 
b. 
organisasi pengusaha; 
c. 
lembaga kerja sama bipartit; 
d. 
embaga kerja sama tripartit; 
e. 
peraturan perusahaan; 
f. 
perjanjian kerja bersama; 
g. 
peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan; dan 
h. 
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. 
Bagian Kedua 
Serikat Pekerja/Serikat Buruh 


Pasal 104 


(1) Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat 
buruh. 
(2) Dalam 
melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102, serikat 
pekerja/serikat buruh ber-hak menghimpun dan mengelola keuangan serta 
mempertanggungjawabkan keuangan organisasi termasuk dana mogok. 
(3) Besarnya dan tata cara pemungutan dana mogok sebagaimana dimaksud dalam ayat 
(2) diatur dalam ang-garan dasar dan/atau anggaran rumah tangga serikat 
pekerja/serikat buruh yang bersangkutan. 
Bagian Ketiga 
Organisasi Pengusaha 


Pasal 105 


(1) Setiap pengusaha berhak membentuk dan menjadi anggota organisasi pengusaha. 
(2) Ketentuan 
mengenai organisasi pengusaha diatur sesuai dengan peraturan 
perundang-undangan yang berlaku. 
Bagian Keempat 
Lembaga Kerja Sama Bipartit 


Pasal 106 


(1) Setiap perusahaan yang mempekerjakan 50 (lima puluh) orang pekerja/ buruh atau 
lebih wajib membentuk lembaga kerja sama bipartit. 

(2) Lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi sebagai 
forum komunikasi, dan konsultasi mengenai hal ketenagakerjaan di perusahaan. 
(3) Susunan keanggotaan lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat 
(2) terdiri dari unsur pengusaha dan unsur pekerja/buruh yang ditunjuk oleh 
pekerja/buruh secara demokratis untuk mewakili kepentingan pekerja/buruh di 
perusahaan yang bersangkutan. 
(4) Ketentuan mengenai tata cara pembentukan dan susunan keanggotaan lembaga kerja 
sama bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3) diatur dengan 
Keputusan Menteri. 
Bagian Kelima 
Lembaga Kerja Sama Tripartit 


Pasal 107 


(1) Lembaga kerja sama tripartit memberikan pertimbangan, saran, dan pendapat kepada 
pemerintah dan pihak terkait dalam penyusunan kebijakan dan pemecahan masalah 
ketenagakerjaan. 
(2) Lembaga Kerja sama Tripartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), terdiri dari : 
a. 
Lembaga Kerja sama Tripartit Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/ Kota; dan 
b. 
Lembaga Kerja sama Tripartit Sektoral Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota. 
(3) Keanggotaan Lembaga Kerja sama Tripartit terdiri dari unsur pemerintah, organisasi 
pengusaha, dan seri-kat pekerja/serikat buruh. 
(4) Tata 
kerja dan susunan organisasi Lembaga Kerja sama Tripartit sebagaimana 
dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 
Bagian Keenam 
Peraturan Perusahaan 


Pasal 108 


(1) Pengusaha 
yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) 
orang wajib membuat peraturan perusahaan yang mulai berlaku setelah disahkan oleh 
Menteri atau pejabat yang ditunjuk. 
(2) Kewajiban membuat peraturan perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) 
tidak berlaku bagi peru-sahaan yang telah memiliki perjanjian kerja bersama. 
Pasal 109 

Peraturan perusahaan disusun oleh dan menjadi tanggung jawab dari pengusaha yang 

bersangkutan. 

Pasal 110 

(1) Peraturan perusahaan 
disusun dengan memperhatikan saran dan pertimbangan dari 
wakil pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan. 
(2) Dalam hal di perusahaan yang bersangkutan telah terbentuk serikat pekerja/serikat 
buruh maka wakil pe-kerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah 
pengurus serikat pekerja/serikat buruh. 
(3) Dalam hal di perusahaan yang bersangkutan belum terbentuk serikat pekerja/serikat 
buruh, wakil pekerja/ buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah 
pekerja/buruh yang dipilih secara demokratis untuk mewakili kepentingan para 
pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan. 
Pasal 111 

(1) Peraturan perusahaan sekurang-kurangnya memuat : 
a. 
hak dan kewajiban pengusaha; 
b. 
hak dan kewajiban pekerja/buruh; 
c. 
syarat kerja; 
d. 
tata tertib perusahaan; dan 
e. 
jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan. 

(2) Ketentuan dalam peraturan perusahaan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan 
peraturan perundang undangan yang berlaku. 
(3) Masa berlaku peraturan perusahaan paling lama 2 (dua) tahun dan wajib diperbaharui 
setelah habis masa berlakunya. 
(4) Selama masa berlakunya peraturan perusahaan, apabila serikat pekerja/ serikat buruh 
di perusahaan meng hendaki perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama, maka 
pengusaha wajib melayani. 
(5) Dalam hal perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud 
dalam ayat (4) tidak mencapai kesepakatan, maka peraturan perusahaan tetap berlaku 
sampai habis jangka waktu berlakunya. 
Pasal 112 

(1) Pengesahan 
peraturan perusahaan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) harus sudah diberikan dalam waktu 
paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak naskah peraturan perusahaan diterima. 
(2) Apabila peraturan perusahaan telah sesuai sebagaimana ketentuan dalam Pasal 111 
ayat (1) dan ayat (2), maka dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) sudah terlampaui dan peraturan perusahaan belum disahkan 
oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk, maka peraturan perusahaan dianggap telah 
mendapatkan pengesahan. 
(3) Dalam hal peraturan perusahaan belum memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 111 ayat (1) dan ayat (2) Menteri atau pejabat yang ditunjuk harus 
memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha mengenai perbaikan peraturan 
perusahaan. 
(4) Dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal pemberitahuan 
diterima oleh pengusaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), pengusaha wajib 
menyampaikan kembali peraturan perusahaan yang telah diperbaiki kepada Menteri 
atau pejabat yang ditunjuk. 
Pasal 113 

(1) Perubahan peraturan 
perusahaan sebelum berakhir jangka waktu berlakunya hanya 
dapat dilakukan atas dasar kesepakatan antara pengusaha dan wakil pekerja/buruh. 
(2) Peraturan perusahaan hasil perubahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus 
mendapat pengesa-han dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk. 
Pasal 114 
Pengusaha wajib memberitahukan dan menjelaskan isi serta memberikan naskah 
peraturan perusahaan atau perubahannya kepada pekerja/buruh. 

Pasal 115 
Ketentuan mengenai tata cara pembuatan dan pengesahan peraturan perusahaan diatur 
dengan Keputusan Menteri. 

Bagian Ketujuh 
Perjanjian Kerja Bersama 


Pasal 116 


(1) Perjanjian kerja bersama dibuat oleh serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa 
serikat pekerja/serikat buruh yang telah tercatat pada instansi yang bertanggung jawab 
di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha. 
(2) Penyusunan 
perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) 
dilaksanakan secara musya-warah. 
(3) Perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dibuat secara 
tertulis dengan huruf latin dan menggunakan bahasa Indonesia. 
(4) Dalam hal terdapat perjanjian kerja bersama yang dibuat tidak menggunakan bahasa 
Indonesia, maka per-janjian kerja bersama tersebut harus diterjemahkan dalam bahasa 

Indonesia oleh penerjemah tersumpah dan terjemahan tersebut dianggap sudah 
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3). 

Pasal 117 
Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (2) tidak mencapai 
kesepakatan, maka penyelesaiannya dilakukan melalui prosedur penyelesaian perselisihan 
hubungan industrial. 

Pasal 118 
Dalam 1 (satu) perusahaan hanya dapat dibuat 1 (satu) perjanjian kerja bersama yang 
berlaku bagi seluruh pekerja/buruh di perusahaan. 

Pasal 119 

(1) Dalam hal di satu perusahaan hanya terdapat satu serikat pekerja/serikat buruh, maka 
serikat pekerja/seri-kat buruh tersebut berhak mewakili pekerja/buruh dalam 
perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama dengan pengusaha apabila memiliki 
jumlah anggota lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh 
pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan. 
(2) Dalam hal di satu perusahaan hanya terdapat satu serikat pekerja/serikat buruh 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetapi tidak memiliki jumlah anggota lebih dari 
50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan maka 
serikat pekerja/serikat buruh dapat mewakili pekerja/buruh dalam perundingan dengan 
pengusaha apabila serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan telah mendapat 
dukungan lebih 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di 
perusahaan melalui pemungutan suara. 
(3) Dalam hal dukungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak tercapai maka 
serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan dapat mengajukan kembali 
permintaan untuk merundingkan perjanjian kerja bersama dengan pengusaha setelah 
melampaui jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak dilakukannya pemungutan 
suara dengan mengikuti prosedur sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). 
Pasal 120 

(1) Dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh 
maka yang berhak mewakili pekerja/buruh melakukan perundingan dengan pengusaha 
yang jumlah keanggotaannya lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh 
jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut. 
(2) 
Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak terpenuhi, maka 
serikat pekerja/serikat buruh dapat melakukan koalisi sehingga tercapai jumlah lebih 
dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan 
tersebut untuk mewakili dalam perundingan dengan pengusaha. 
(3) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2) tidak 
terpenuhi, maka para seri-kat pekerja/serikat buruh membentuk tim perunding yang 
keanggotaannya ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah anggota masingmasing 
serikat pekerja/serikat buruh. 
Pasal 121 
Keanggotaan serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 dan 
Pasal 120 dibuktikan dengan kartu tanda anggota. 

Pasal 122 
Pemungutan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (2) diselenggarakan oleh 
panitia yang terdiri dari wakil-wakil pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat 
buruh yang disaksikan oleh pihak pejabat yang bertanggung jawab di bidang 
ketenagakerjaan dan pengusaha. 

Pasal 123 

(1) Masa berlakunya perjanjian kerja bersama paling lama 2 (dua) tahun. 

(2) Perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang 
masa berlakunya pa-ling lama 1 (satu) tahun berdasarkan kesepakatan tertulis antara 
pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh. 
(3) Perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama berikutnya dapat dimulai paling 
cepat 3 (tiga) bulan se-belum berakhirnya perjanjian kerja bersama yang sedang 
berlaku. 
(4) Dalam 
hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak mencapai 
kesepakatan maka perjan-jian kerja bersama yang sedang berlaku, tetap berlaku untuk 
paling lama 1 (satu) tahun. 
Pasal 124 

(1) Perjanjian kerja bersama paling sedikit memuat : 
a. 
hak dan kewajiban pengusaha; 
b. 
hak dan kewajiban serikat pekerja/serikat buruh serta pekerja/buruh; 
c. 
jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya perjanjian kerja bersama; dan 
d. 
tanda tangan para pihak pembuat perjanjian kerja bersama. 
e. 
Ketentuan dalam perjanjian kerja bersama tidak boleh bertentangan dengan 
peraturan perundang-undangan yang berlaku. 
(2) Dalam 
hal isi perjanjian kerja bersama bertentangan dengan peraturan perundangundangan 
yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka ketentuan yang 
bertentangan tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam 
peraturan perundang-undangan. 
Pasal 125 
Dalam hal kedua belah pihak sepakat mengadakan perubahan perjanjian kerja bersama, 
maka perubahan tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian kerja 
bersama yang sedang berlaku. 

Pasal 126 

(1) Pengusaha, 
serikat pekerja/serikat buruh dan pekerja/buruh wajib melaksanakan 
ketentuan yang ada da-lam perjanjian kerja bersama. 
(2) Pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan isi perjanjian kerja 
bersama atau peru-bahannya kepada seluruh pekerja/ buruh. 
(3) Pengusaha harus mencetak dan membagikan naskah perjanjian kerja bersama kepada 
setiap pekerja/ buruh atas biaya perusahaan. 
Pasal 127 

(1) Perjanjian 
kerja yang dibuat oleh pengusaha dan pekerja/buruh tidak boleh 
bertentangan dengan perjanjian kerja bersama. 
(2) Dalam hal ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) 
bertentangan dengan perjanjian kerja bersama, maka ketentuan dalam perjanjian kerja 
tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam perjanjian kerja 
bersama. 
Pasal 128 
Dalam hal perjanjian kerja tidak memuat aturan-aturan yang diatur dalam perjanjian kerja 
bersama maka yang berlaku adalah aturan-aturan dalam perjanjian kerja bersama. 

Pasal 129 

(1) Pengusaha dilarang mengganti perjanjian kerja bersama dengan peraturan perusahaan, 
selama di perusa-haan yang bersangkutan masih ada serikat pekerja/serikat buruh. 
(2) Dalam hal di perusahaan tidak ada lagi serikat pekerja/serikat buruh dan perjanjian 
kerja bersama diganti dengan peraturan perusahaan, maka ketentuan yang ada dalam 
peraturan perusahaan tidak boleh lebih rendah dari ketentuan yang ada dalam 
perjanjian kerja bersama. 

Pasal 130 

(1) Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya akan 
diperpanjang atau diper-baharui dan di perusahaan tersebut hanya terdapat 1 (satu) 
serikat pekerja/serikat buruh, maka perpanjangan atau pembuatan pembaharuan 
perjanjian kerja bersama tidak mensyaratkan ketentuan dalam Pasal 119. 
(2) Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya akan 
diperpanjang atau diper-baharui dan di perusahaan tersebut terdapat lebih dari 1 (satu) 
serikat pekerja/serikat buruh dan serikat pekerja/serikat buruh yang dulu berunding 
tidak lagi memenuhi ketentuan Pasal 120 ayat (1), maka perpanjangan atau pembuatan 
pembaharuan perjanjian kerja bersama dilakukan oleh serikat pekerja/serikat buruh 
yang anggotanya lebih 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh 
di perusahaan bersama-sama dengan serikat pekerja/serikat buruh yang membuat 
perjanjian kerja bersama terdahulu dengan membentuk tim perunding secara 
proporsional. 
(3) Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya akan 
diperpanjang atau diper-baharui dan di perusahaan tersebut terdapat lebih dari 1 (satu) 
serikat pekerja/ serikat buruh dan tidak satupun serikat pekerja/serikat buruh yang ada 
memenuhi ketentuan Pasal 120 ayat (1), maka perpanjangan atau pembuatan 
pembaharuan perjanjian kerja bersama dilakukan menurut ketentuan Pasal 120 ayat 
(2) dan ayat (3). 
Pasal 131 

(1) Dalam 
hal terjadi pembubaran serikat pekerja/serikat buruh atau pengalihan 
kepemilikan perusahaan maka perjanjian kerja bersama tetap berlaku sampai 
berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja bersama. 
(2) Dalam hal terjadi penggabungan perusahaan (merger) dan masing-masing perusahaan 
mempunyai perjan-jian kerja bersama maka perjanjian kerja bersama yang berlaku 
adalah perjanjian kerja bersama yang lebih menguntungkan pekerja/buruh. 
(3) Dalam 
hal terjadi penggabungan perusahaan (merger) antara perusahaan yang 
mempunyai perjanjian kerja bersama dengan perusahaan yang belum mempunyai 
perjanjian kerja bersama maka perjanjian kerja bersama tersebut berlaku bagi 
perusahaan yang bergabung (merger) sampai dengan berakhirnya jangka waktu 
perjanjian kerja bersama. 
Pasal 132 

(1) Perjanjian kerja bersama mulai berlaku pada hari penandatanganan kecuali ditentukan 
lain dalam perjanjian kerja bersama tersebut. 
(2) Perjanjian kerja bersama yang ditandatangani oleh pihak yang membuat perjanjian 
kerja bersama selan-jutnya didaftarkan oleh pengusaha pada instansi yang 
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. 
Pasal 133 
Ketentuan mengenai persyaratan serta tata cara pembuatan, perpanjangan, perubahan, dan 
pendaftaran perjanjian kerja bersama diatur dengan Keputusan Menteri. 

Pasal 134 
Dalam mewujudkan pelaksanaan hak dan kewajiban pekerja/buruh dan pengusaha, 
pemerintah wajib melaksanakan pengawasan dan penegakan peraturan perundangundangan 
ketenagakerjaan. 

Pasal 135 
Pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan dalam mewujudkan 

hubungan industrial merupakan tanggung jawab pekerja/buruh, pengusaha, dan 
pemerintah. 
Bagian Kedelapan 

Lembaga Penyelesaian Perselisihan 


Hubungan Industrial 

Paragraf 1 
Perselisihan Hubungan Industrial 

Pasal 136 

(1) Penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib dilaksanakan oleh pengusaha dan 
pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh secara musyawarah untuk mufakat. 
(2) Dalam hal penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud 
dalam ayat (1) tidak tercapai, maka pengusaha dan pekerja/ buruh atau serikat 
pekerja/serikat buruh menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui 
prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur dengan undangundang. 
Paragraf 2 
Mogok Kerja 

Pasal 137 
Mogok kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dilakukan 
secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan. 

Pasal 138 

(1) Pekerja/buruh 
dan/atau serikat pekerja/serikat buruh yang bermaksud mengajak 
pekerja/buruh lain untuk mogok kerja pada saat mogok kerja berlangsung dilakukan 
dengan tidak melanggar hukum. 
(2) Pekerja/buruh yang diajak mogok kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat 
memenuhi atau tidak memenuhi ajakan tersebut. 
Pasal 139 
Pelaksanaan mogok kerja bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan yang 
melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatan-nya 

membahayakan keselamatan jiwa manusia diatur 
mengganggu kepentingan umum dan/atau membahayakansedemikian 
keselamatan 
rupa 
orang lain. 
sehingga tidak 
(1) Sekurang-kurangnya dalam waktu 
Pasal 140 
7 (tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja 

dilaksanakan, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan 
secara tertulis kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang 
ketenagakerjaan setempat. 

(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat : 
a. 
waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri mogok kerja; 
b. 
tempat mogok kerja; 
c. 
alasan dan sebab-sebab mengapa harus melakukan mogok kerja; dan 
d. 
tanda tangan ketua dan sekretaris dan/atau masing-masing ketua dan sekretaris 
serikat pekerja/serikat buruh sebagai penanggung jawab mogok kerja. 
(3) Dalam hal mogok kerja akan dilakukan oleh pekerja/buruh yang tidak menjadi 
anggota serikat pekerja/ serikat buruh, maka pemberitahuan sebagaimana dimaksud 
dalam ayat (2) ditandatangani oleh perwakilan pekerja/buruh yang ditunjuk sebagai 
koordinator dan/atau penanggung jawab mogok kerja. 
(4) Dalam hal mogok kerja dilakukan tidak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka 
demi menyelamat kan alat produksi dan aset perusahaan, pengusaha dapat mengambil 
tindakan sementara dengan cara : 
a. 
melarang para pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi kegiatan proses 
produksi; atau 
b. 
bila dianggap perlu melarang pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi 
perusahaan. 

Pasal 141 

(1) Instansi pemerintah dan pihak perusahaan yang menerima surat pemberitahuan mogok 
kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 wajib memberikan tanda terima. 
(2) Sebelum dan selama mogok kerja berlangsung, instansi yang bertanggung jawab di 
bidang ketenagakerjaan wajib menyelesaikan masalah yang menyebabkan timbulnya 
pemogokan dengan mempertemukan dan merundingkannya dengan para pihak yang 
berselisih. 
(3) Dalam 
hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) menghasilkan 
kesepakatan, maka harus dibuatkan perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para 
pihak dan pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan 
sebagai saksi. 
(4) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak menghasilkan 
kesepakatan, maka pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang 
ketenagakerjaan segera menyerahkan masalah yang menyebabkan terjadinya mogok 
kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berwenang. 
(5) Dalam 
hal perundingan tidak menghasilkan kesepakatan sebagaimana dimaksud 
dalam ayat (4), maka atas dasar perundingan antara pengusaha dengan serikat 
pekerja/serikat buruh atau penanggung jawab mogok kerja, mogok kerja dapat 
diteruskan atau dihentikan untuk sementara atau dihentikan sama sekali. 
Pasal 142 

(1) Mogok kerja yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam 
Pasal 139 dan Pa-sal 140 adalah mogok kerja tidak sah. 
(2) Akibat hukum dari mogok kerja yang tidak sah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) 
akan diatur dengan Keputusan Menteri. 
Pasal 143 

(1) Siapapun tidak dapat menghalang-halangi pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat 
buruh untuk mengguna kan hak mogok kerja yang dilakukan secara sah, tertib, dan 
damai. 
(2) Siapapun 
dilarang melakukan penangkapan dan/atau penahanan terhadap 
pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang melakukan mogok 
kerja secara sah, tertib, dan damai sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang 
berlaku. 
Pasal 144 
Terhadap mogok kerja yang dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 140, pengusaha dilarang : 

a. 
mengganti pekerja/buruh yang mogok kerja dengan pekerja/buruh lain dari luar 
perusahaan; atau 
b. 
memberikan sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk apapun kepada pekerja/buruh 
dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh selama dan sesudah melakukan mogok 
kerja. 
Pasal 145 
Dalam hal pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja secara sah dalam melakukan 
tuntutan hak normatif yang sungguh-sungguh dilanggar oleh pengusaha, pekerja/buruh 
berhak mendapatkan upah. 

Paragraf 3 
Penutupan Perusahaan (lock-out) 


Pasal 146 


(1) Penutupan perusahaan (lock out) merupakan hak dasar pengusaha untuk menolak 
pekerja/buruh sebagian atau seluruhnya untuk menjalankan pekerjaan sebagai akibat 
gagalnya perundingan. 

(2) Pengusaha tidak dibenarkan melakukan penutupan perusahaan (lock out) sebagai 
tindakan balasan sehubungan adanya tuntutan normatif dari pekerja/buruh dan/atau 
serikat pekerja/serikat buruh. 
(3) Tindakan penutupan perusahaan (lock out) harus dilakukan sesuai dengan ketentuan 
hukum yang berlaku. 
Pasal 147 
Penutupan perusahaan (lock out) dilarang dilakukan pada perusahaan-perusahaan yang 
melayani kepentingan umum dan/atau jenis kegiatan yang membahayakan keselamatan 
jiwa manusia, meliputi rumah sakit, pelayanan jaringan air bersih, pusat pengendali 
telekomunikasi, pusat penyedia tenaga listrik, pengolahan minyak dan gas bumi, serta 
kereta api. 

Pasal 148 

(1) Pengusaha 
wajib memberitahukan secara tertulis kepada pekerja/buruh dan/atau 
serikat pekerja/serikat buruh, serta instansi yang bertanggung jawab di bidang 
ketenagakerjaan setempat sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hari kerja sebelum penutupan 
perusahaan (lock out) dilaksanakan. 
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat : 
a. waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri penutupan perusahaan (lock 
out); dan 
b. alasan dan sebab-sebab melakukan penutupan perusahaan (lock out). 
(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditandatangani oleh pengusaha 
dan/atau pimpinan perusahaan yang bersangkutan. 
Pasal 149 

(1) Pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dan instansi yang bertanggung jawab 
di bidang ketenaga-kerjaan yang menerima secara langsung surat pemberitahuan 
penutupan perusahaan (lock out) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 harus 
memberikan tanda bukti penerimaan dengan mencantumkan hari, tanggal, dan jam 
penerimaan. 
(2) Sebelum dan selama penutupan perusahaan (lock out) berlangsung, instansi yang 
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan berwenang langsung menyelesaikan 
masalah yang menyebabkan timbulnya penutupan perusahaan (lock out) dengan 
mempertemukan dan merundingkannya dengan para pihak yang berselisih. 
(3) Dalam 
hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) menghasilkan 
kesepakatan, maka harus dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para 
pihak dan pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan 
sebagai saksi. 
(4) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak menghasilkan 
kesepakatan, maka pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang 
ketenagakerjaan segera menyerahkan masalah yang menyebabkan terjadinya 
penutupan perusahaan (lock out) kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan 
industrial. 
(5) Apabila perundingan tidak menghasilkan kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam 
ayat (4), maka atas dasar perundingan antara pengusaha dan serikat pekerja/serikat 
buruh, penutupan perusahaan (lock out) dapat diteruskan atau dihentikan untuk 
sementara atau dihentikan sama sekali. 
(6) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (1) dan ayat (2) tidak 
diperlukan apabila : 
a. 
pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh melanggar prosedur mogok kerja 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140; 
b. 
pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh melanggar ketentuan normatif 
yang ditentukan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja 
bersama, atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

BAB XII 
PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA 


Pasal 150 
Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja dalam undang-undang ini meliputi 
pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, 
milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta 
maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai 
pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam 
bentuk lain. 

Pasal 151 

(1) Pengusaha, 
pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan 
segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja. 
(2) Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat 
dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh 
pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila 
pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. 
(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar-benar tidak 
menghasilkan persetu-juan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja 
dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian 
perselisihan hubungan industrial. 
Pasal 152 

(1) Permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan secara tertulis kepada 
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang menjadi 
dasarnya. 
(2) Permohonan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diterima oleh 
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial apabila telah dirundangkan 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2). 
(3) Penetapan atas permohonan pemutusan hubungan kerja hanya dapat diberikan oleh 
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika ternyata maksud untuk 
memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan, tetapi perundingan tersebut tidak 
menghasilkan kesepakatan. 
Pasal 153 

(1) Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan : 
a. 
pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter 
selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus; 
b. 
pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi 
kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan 
yang berlaku; 
c. 
pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya; 
d. 
pekerja/buruh menikah; 
e. 
pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui 
bayinya; 
f. 
pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan 
pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam 
perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama; 
g. 
pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat 
pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat 
buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau 
berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, 
atau perjanjian kerja bersama; 
h. 
pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai 
perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan; 

i. 
karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis 
kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan; 
j. 
pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit 
karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu 
penyembuhannya belum dapat dipastikan. 
(2) Pemutusan hubungan kerja yang 
dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud 
dalam ayat (1) batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali 
pekerja/buruh yang bersangkutan. 
Pasal 154 
Penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) tidak diperlukan dalam hal : 

a. 
pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratkan 
secara tertulis sebelumnya; 
b. 
pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan 
sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya 
hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali; 
c. 
pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja, 
peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan; 
atau 
d. 
pekerja/buruh meninggal dunia. 
Pasal 155 

(1) Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 
ayat (3) batal demi hukum. 
(2) Selama 
putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum 
ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala 
kewajibannya. 
(3) Pengusaha 
dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana 
dimaksud dalam ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang 
dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta 
hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh. 
Pasal 156 

(1) Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang 
pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang 
seharusnya diterima. 
(2) Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit 
sebagai berikut : 
a. 
masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah; 
b. 
masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan 
upah; 
c. 
masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan 
upah; 
d. 
masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) 
bulan upah; 
e. 
masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) 
bulan upah; 
f. 
masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) 
bulan upah; 
g. 
masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) 
bulan upah. 
h. 
masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 
(delapan) bulan upah; 
i. 
masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah. 
(3) Perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) 
ditetapkan sebagai berikut : 

a. 
masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) 
bulan upah; 
b. 
masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) 
bulan upah; 
c. 
masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 
(empat) bulan upah; 
d. 
masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 
5 (lima) bulan upah; 
e. 
masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) 
tahun, 6 (enam) bulan upah; 
f. 
masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh 
satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah; 
g. 
masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh 
empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah; 
h. 
masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh ) bulan upah. 
(4) Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud dalam ayat 
(1) meliputi : 
a. 
cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur; 
b. 
biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat dimana 
pekerja/buruh diterima bekerja; 
c. 
penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima 
belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi 
yang memenuhi syarat; 
d. 
hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau 
perjanjian kerja bersama. 
(5) Perubahan perhitungan uang pesangon, perhitungan uang penghargaan masa kerja, 
dan uang penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3), dan ayat 
(4) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. 
Pasal 157 

(1) Komponen upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon, uang 
penghargaan masa kerja, dan uang pengganti hak yang seharusnya diterima yang 
tertunda, terdiri atas : 
a. 
upah pokok; 
b. 
segala macam bentuk tunjangan yang bersifat tetap yang diberikan kepada 
pekerja/buruh dan keluarganya, termasuk harga pembelian dari catu yang 
diberikan kepada pekerja/buruh secara cuma-cuma, yang apabila catu harus 
dibayar pekerja/buruh dengan subsidi, maka sebagai upah dianggap selisih antara 
harga pembelian dengan harga yang harus dibayar oleh pekerja/buruh. 
(2) Dalam hal penghasilan pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan harian, maka 
penghasilan sebulan adalah sama dengan 30 kali penghasilan sehari. 
(3) Dalam 
hal upah pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan satuan hasil, 
potongan/borongan atau komisi, maka penghasilan sehari adalah sama dengan 
pendapatan rata-rata per hari selama 12 (dua belas) bulan terakhir, dengan ketentuan 
tidak boleh kurang dari ketentuan upah minimum provinsi atau kabupaten/kota. 
(4) Dalam hal pekerjaan tergantung pada keadaan cuaca dan upahnya didasarkan pada 
upah borongan, maka perhitungan upah sebulan dihitung dari upah rata-rata 12 (dua 
belas) bulan terakhir. 
Pasal 158 

(1) Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan 
pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut : 
a. 
melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik 
perusahaan; 
b. 
memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan 
perusahaan; 

c. 
mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau 
mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja; 
d. 
melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja; 
e. 
menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau 
pengusaha di lingkungan kerja; 
f. 
membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang 
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; 
g. 
dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya 
barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan; 
h. 
dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam 
keadaan bahaya di tempat kerja; 
i. 
membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan 
kecuali untuk kepentingan negara; atau 
j. 
melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana 
penjara 5 (lima) tahun atau lebih. 
(2) Kesalahan berat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus didukung dengan bukti 
sebagai berikut: 
a. 
pekerja/buruh tertangkap tangan; 
b. 
ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau 
c. 
bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di 
perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) 
orang saksi. 
(3) Pekerja/buruh 
yang diputus hubungan kerjanya berdasarkan alasan sebagaimana 
dimaksud dalam ayat (1), dapat memperoleh uang penggantian hak sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 156 ayat (4). 
(4) Bagi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang tugas dan fungsinya 
tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain uang penggantian hak 
sesuai dengan ketentuan Pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnya dan 
pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian 
kerja bersama. 
Pasal 159 
Apabila pekerja/buruh tidak menerima pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 158 ayat (1), pekerja/buruh yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan ke 
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. 

Pasal 160 

(1) Dalam hal pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan 
tindak pidana bukan atas pengaduan pengusaha, maka pengusaha tidak wajib 
membayar upah tetapi wajib memberikan bantuan kepada keluarga pekerja/buruh yang 
menjadi tanggungannya dengan ketentuan sebagai berikut : 
a. 
untuk 1 (satu) orang tanggungan : 25% (dua puluh lima perseratus) dari upah; 
b. 
untuk 2 (dua) orang tanggungan : 35% (tiga puluh lima perseratus) dari upah; 
c. 
untuk 3 (tiga) orang tanggungan : 45% (empat puluh lima perseratus) dari upah; 
d. 
untuk 4 (empat) orang tanggungan atau lebih : 50% (lima puluh perseratus) dari 
upah. 
(2) Bantuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan untuk paling lama 6 (enam) 
bulan takwin ter-hitung sejak hari pertama pekerja/buruh ditahan oleh pihak yang 
berwajib. 
(3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh yang 
setelah 6 (enam) bulan tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya karena 
dalam proses perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). 
(4) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan 
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan tidak 
bersalah, maka pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh kembali. 

(5) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan 
berakhir dan pekerja/ buruh dinyatakan bersalah, maka pengusaha dapat melakukan 
pemutusan hubungan kerja kepada pekerja/buruh yang bersangkutan. 
(6) Pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (5) 
dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. 
(7) Pengusaha 
wajib membayar kepada pekerja/buruh yang mengalami pemutusan 
hubungan kerja sebagai-mana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (5), uang 
penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang 
penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4). 
Pasal 161 

(1) Dalam 
hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam 
perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat 
melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang 
bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturutturut. 
(2) Surat peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masing-masing berlaku untuk 
paling lama 6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan 
perusahaan atau perjanjian kerja bersama. 
(3) Pekerja/buruh 
yang mengalami pemutusan hubungan kerja dengan alasan 
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memperoleh uang pesangon sebesar 1 (satu) 
kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali 
ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 
ayat (4). 
Pasal 162 

(1) Pekerja/buruh 
yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, memperoleh uang 
penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). 
(2) Bagi pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, yang tugas dan 
fungsinya tidak me-wakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain menerima 
uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah yang 
besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau 
perjanjian kerja bersama. 
(3) Pekerja/buruh yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus 
memenuhi syarat : 
a. 
mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 
(tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri; 
b. 
tidak terikat dalam ikatan dinas; dan 
c. 
tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri. 
(4) Pemutusan 
hubungan kerja dengan alasan pengunduran diri atas kemauan sendiri 
dilakukan tanpa pene-tapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. 
Pasal 163 

(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dalam 
hal terjadi peru-bahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan 
perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja, maka 
pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali sesuai ketentuan Pasal 
156 ayat (2), uang perhargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) 
dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4). 
(2) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena 
perubahan status, penggabungan, atau peleburan perusahaan, dan pengusaha tidak 
bersedia menerima pekerja/buruh di perusahaannya, maka pekerja/buruh berhak atas 
uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan 
masa kerja 1 (satu) kali ketentuan dalam Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak 
sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4). 

Pasal 164 

(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena 
perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus 
menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), dengan 
ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan 
Pasal 156 ayat (2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 
156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). 
(2) Kerugian perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dibuktikan dengan 
laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik. 
(3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena 
perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau 
bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi, 
dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali 
ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali 
ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 
ayat (4). 
Pasal 165 
Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/ buruh karena 
perusahaan pailit, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 
(satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali 
ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat 
(4). 

Pasal 166 
Dalam hal hubungan kerja berakhir karena pekerja/buruh meninggal dunia, kepada ahli 
warisnya diberikan sejumlah uang yang besar perhitungannya sama dengan perhitungan 2 
(dua) kali uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), 1 (satu) kali uang 
penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak 
sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). 

Pasal 167 

(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena 
memasuki usia pensiun dan apabila pengusaha telah mengikutkan pekerja/buruh pada 
program pensiun yang iurannya dibayar penuh oleh pengusaha, maka pekerja/buruh 
tidak berhak mendapatkan uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang 
penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), tetapi tetap berhak atas 
uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). 
(2) Dalam hal besarnya jaminan atau manfaat pensiun yang diterima sekaligus dalam 
program pensiun se-bagaimana dimaksud dalam ayat (1) ternyata lebih kecil daripada 
jumlah uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) dan uang penghargaan 
masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai 
ketentuan Pasal 156 ayat (4), maka selisihnya dibayar oleh pengusaha. 
(3) Dalam hal pengusaha telah mengikutsertakan pekerja/buruh dalam program pensiun 
yang iurannya/premi-nya dibayar oleh pengusaha dan pekerja/buruh, maka yang 
diperhitungkan dengan uang pesangon yaitu uang pensiun yang premi/iurannya 
dibayar oleh pengusaha. 
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dapat diatur 
lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. 
(5) Dalam 
hal pengusaha tidak mengikutsertakan pekerja/buruh yang mengalami 
pemutusan hubungan kerja karena usia pensiun pada program pensiun maka 
pengusaha wajib memberikan kepada pekerja/buruh uang pesangon sebesar 2 (dua) 
kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan 
Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). 
(6) Hak atas manfaat pensiun sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat 
(3), dan ayat (4) ti-dak menghilangkan hak pekerja/buruh atas jaminan hari tua yang 
bersifat wajib sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

Pasal 168 

(1) Pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa 
keterangan secara ter tulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil 
oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya 
karena dikualifikasikan mengundurkan diri. 
(2) Keterangan tertulis dengan bukti yang sah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) 
harus diserahkan paling lambat pada hari pertama pekerja/buruh masuk bekerja. 
(3) Pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pekerja/buruh yang 
bersangkutan berhak menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat 
(4) dan diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam 
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. 
Pasal 169 

(1) Pekerja/buruh 
dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada 
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha 
melakukan perbuatan sebagai berikut : 
a. 
menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh; 
b. 
membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang 
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; 
c. 
tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan 
berturut-turut atau lebih; 
d. 
tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/ buruh; 
e. 
memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang 
diperjanjikan; atau 
f. 
memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan 
kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada 
perjanjian kerja. 
(2) Pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) 
pekerja/buruh berhak mendapat uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat 
(2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang 
penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). 
(3) Dalam hal pengusaha dinyatakan tidak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud 
dalam ayat (1) oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial maka 
pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan lembaga 
penyelesaian perselisihan hubungan industrial dan pekerja/buruh yang bersangkutan 
tidak berhak atas uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), dan uang 
penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3). 
Pasal 170 
Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan tidak memenuhi keten-tuan Pasal 151 ayat (3) 
dan Pasal 168, kecuali Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3), Pasal 162, dan Pasal 169 
batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh yang bersangkutan 
serta membayar seluruh upah dan hak yang seharusnya diterima. 

Pasal 171 
Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan lembaga 
penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berwenang sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3), dan Pasal 162, dan pekerja/buruh yang 
bersangkutan tidak dapat menerima pemutusan hubungan kerja tersebut, maka 
pekerja/buruh dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan 
industrial dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal dilakukan pemutusan 
hubungan kerjanya. 

Pasal 172 
Pekerja/buruh yang mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat kecelakaan 
kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) 


bulan dapat mengajukan pemutusan hubungan kerja dan diberikan uang pesangon 2 (dua) 
kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 2 (dua) kali ketentuan 
Pasal 156 ayat (3), dan uang pengganti hak 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (4). 

BAB XIII 
PEMBINAAN 


Pasal 173 


(1) Pemerintah 
melakukan pembinaan terhadap unsur-unsur dan kegiatan yang 
berhubungan dengan ketena-gakerjaan. 
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat mengikut-sertakan organisasi 
pengusaha, seri-kat pekerja/serikat buruh, dan organisasi profesi terkait. 
(3) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dan ayat (2), dilaksanakan secara 
terpadu dan terkoordinasi. 
Pasal 174 
Dalam rangka pembinaan ketenagakerjaan, pemerintah, organisasi peng-usaha, serikat 
pekerja/serikat buruh dan organisasi profesi terkait dapat melakukan kerja sama 
internasional di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan 
yang berlaku. 

Pasal 175 

(1) Pemerintah dapat memberikan penghargaan kepada orang atau lembaga yang telah 
berjasa dalam pem-binaan ketenagakerjaan. 
(2) Penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diberikan dalam bentuk 
piagam, uang, dan/atau bentuk lainnya. 
BAB XIV 
PENGAWASAN 


Pasal 176 
Pengawasan ketenagakerjaan dilakukan oleh pegawai pengawas ketenaga-kerjaan yang 
mempunyai kompetensi dan independen guna menjamin pelaksanaan peraturan 
perundang-undangan ketenagakerjaan. 

Pasal 177 
Pegawai pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 ditetapkan 
oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. 

Pasal 178 

(1) Pengawasan ketenagakerjaan dilaksanakan oleh unit kerja tersendiri pada instansi 
yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada 
pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. 
(2) Pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) 
diatur dengan Keputusan Presiden. 
Pasal 179 


(1) Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 pada 
pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota wajib menyampaikan laporan 
pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan kepada Menteri. 
(2) Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan 
dengan Keputusan Menteri. 
Pasal 180 
Ketentuan mengenai persyaratan penunjukan, hak dan kewajiban, serta wewenang 
pegawai pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 sesuai 
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 


Pasal 181 

Pegawai pengawas ketenagakerjaan dalam melaksanakan tugasnya sebagai-mana 
dimaksud dalam Pasal 176 wajib : 

a. 
merahasiakan segala sesuatu yang menurut sifatnya patut dirahasiakan; 
b. 
tidak menyalahgunakan kewenangannya. 
BAB XV 
PENYIDIKAN 


Pasal 182 


(1) Selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga kepada pegawai 
pengawas ketenagakerjaan dapat diberi wewenang khusus sebagai penyidik pegawai 
negeri sipil sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 
(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang : 
a. 
melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang tindak 
pidana di bidang ketenaga-kerjaan; 
b. 
melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di 
bidang ketenagakerjaan; 
c. 
meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan 
dengan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan; 
d. 
melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam perkara 
tindak pidana di bidang ketenagakerjaan; 
e. 
melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak pidana di 
bidang ketenagakerjaan; 
f. 
meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak 
pidana di bidang ketenagakerjaan; dan 
g. 
menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang membuktikan 
tentang adanya tindak pidana di bidang ketenagakerjaan. 
(3) Kewenangan penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) 
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 
BAB XVI 
KETENTUAN PIDANA DAN 
SANKSI ADMINISTRATIF 


Bagian Pertama 
Ketentuan Pidana 


Pasal 183 


(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74, dikenakan 
sanksi pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun 
dan/atau denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling 
banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). 
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana 
kejahatan. 
Pasal 184 

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (5), 
dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) 
tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling 
banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). 
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana 
kejahatan. 
Pasal 185 

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) dan 
ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 90 ayat (1), Pasal 143, 

dan Pasal 160 ayat (4) dan ayat (7), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 
(satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat 
ratus juta rupiah). 

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam 
ayat (1) merupakan tindak pidana 
kejahatan. 
Pasal 186 

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) dan 
ayat (3), Pasal 93 ayat (2), Pasal 137, dan Pasal 138 ayat (1), dikenakan sanksi pidana 
penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda 
paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 
400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). 
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana 
pelanggaran. 
Pasal 187 

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2), 
Pasal 44 ayat (1), Pasal 45 ayat (1), Pasal 67 ayat (1), Pasal 71 ayat (2), Pasal 76, Pasal 
78 ayat (2), Pasal 79 ayat (1), dan ayat (2), Pasal 85 ayat (3), dan Pasal 144, dikenakan 
sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) 
bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling 
banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). 
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana 
pelanggaran. 
Pasal 188 

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), 
Pasal 38 ayat (2), Pasal 63 ayat (1), Pasal 78 ayat (1), Pasal 108 ayat (1), Pasal 111 
ayat (3), Pasal 114, dan Pasal 148, dikenakan sanksi pidana denda paling sedikit Rp 
5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta 
rupiah). 
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana 
pelanggaran. 
Pasal 189 

Sanksi pidana penjara, kurungan, dan/atau denda tidak menghilangkan kewajiban 

pengusaha membayar hak-hak dan/atau ganti kerugian kepada tenaga kerja atau 

pekerja/buruh. 

Bagian Kedua 
Sanksi Administratif 


Pasal 190 


(1) Menteri atau pejabat yang ditunjuk mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran 
ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 15, Pasal 25, 
Pasal 38 ayat (2), Pasal 45 ayat (1), Pasal 47 ayat (1), Pasal 48, Pasal 87, Pasal 106, 
Pasal 126 ayat (3), dan Pasal 160 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang ini serta 
peraturan pelaksanaannya. 
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berupa : 
a. 
teguran; 
b. 
peringatan tertulis; 
c. 
pembatasan kegiatan usaha; 
d. 
pembekuan kegiatan usaha; 
e. 
pembatalan persetujuan; 
f. 
pembatalan pendaftaran; 
g. 
penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi; 

h. 
pencabutan ijin. 
(3) Ketentuan mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan 
ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri. 
BAB XVII 
KETENTUAN PERALIHAN 


Pasal 191 
Semua peraturan pelaksanaan yang mengatur ketenagakerjaan tetap berlaku sepanjang 
tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan 
Undang undang ini. 

BAB XVIII 
KETENTUAN PENUTUP 


Pasal 192 
Pada saat mulai berlakunya Undang undang ini, maka : 

1. 
Ordonansi tentang Pengerahan Orang Indonesia Untuk Melakukan Pekerjaan Di Luar 
Indonesia (Staatsblad Tahun 1887 Nomor 8); 
2. 
Ordonansi tanggal 17 Desember 1925 Peraturan tentang Pembatasan Kerja Anak Dan 
Kerja Malam Bagi Wanita (Staatsblad Tahun 1925 Nomor 647); 
3. 
Ordonansi Tahun 1926 Peraturan mengenai Kerja Anak anak Dan Orang Muda Di 
Atas Kapal (Staatsblad Tahun 1926 Nomor 87); 
4. 
Ordonansi tanggal 4 Mei 1936 tentang Ordonansi untuk Mengatur Kegiatan kegiatan 
Mencari Calon Pekerja (Staatsblad Tahun 1936 Nomor 208); 
5. 
5. Ordonansi tentang Pemulangan Buruh Yang Diterima Atau Dikerahkan Dari Luar 
Indonesia (Staatsblad Tahun 1939 Nomor 545); 
6. 
Ordonansi Nomor 9 Tahun 1949 tentang Pembatasan Kerja Anak anak (Staatsblad 
Tahun 1949 Nomor 8); 
7. 
Undang undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang undang 
Kerja Tahun 1948 Nomor 12 Dari Republik Indonesia Untuk Seluruh Indonesia 
(Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 2); 
8. 
Undang undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan Antara Serikat 
Buruh Dan Majikan (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 69, Tambahan Lembaran 
Negara Nomor 598a); 
9. 
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang Penempatan Tenaga Asing (Lembaran 
Negara Tahun 1958 Nomor 8 ); 
10. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1961 tentang Wajib Kerja Sarjana (Lembaran Negara 
Tahun 1961 Nomor 207, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2270); 
11. Undang undang Nomor 7 Pnps Tahun 1963 tentang Pencegahan Pemogokan dan/atau 
Penutupan (Lock Out) Di Perusahaan, Jawatan, dan Badan Yang Vital (Lembaran 
Negara Tahun 1963 Nomor 67); 
12. Undang undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan ketentuan Pokok Mengenai 
Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara 
Nomor 2912); 
13. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara 
Tahun 1997 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3702); 
14. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undangundang 
Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Tahun 
1998 Nomor 184, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3791); 
15. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah 
Pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undangundang 
Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undang-undang Nomor 
25 Tahun 1997 tentang Ketenaga-kerjaan Menjadi Undang-undang (Lembaran Negara 
Tahun 2000 Nomor 240, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4042), 
dinyatakan tidak berlaku lagi. 

Pasal 193 
Undang undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. 
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang undang ini 
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. 

Disahkan di Jakarta 
pada tanggal 25 Maret 2003 
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 
ttd 
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI 


Diundangkan di Jakarta 
pada tanggal 25 Maret 2003 
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, 
ttd 
BAMBANG KESOWO 

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 39 


P E N J E L A S A N 
A T A S 
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA 
NOMOR 13 TAHUN 2003 
TENTANG 
KETENAGAKERJAAN 


I. 
UMUM 
Pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional 
berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 
1945, dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan 
pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk meningkatkan harkat, martabat, 
dan harga diri tenaga kerja serta mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur, dan 
merata, baik materiil maupun spiritual. 
Pembangunan ketenagakerjaan harus diatur sedemikian rupa sehingga terpenuhi hakhak 
dan perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja dan pekerja/buruh serta pada 
saat yang bersamaan dapat mewujudkan kondisi yang kondusif bagi pengembangan 
dunia usaha. 
Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan. 
Keterkaitan itu tidak hanya dengan kepentingan tenaga kerja selama, sebelum dan 
sesudah masa kerja tetapi juga keterkaitan dengan kepentingan pengusaha, 
pemerintah, dan masyarakat. Untuk itu, diperlukan pengaturan yang menyeluruh 
dan komprehensif, antara lain mencakup pengembangan sumberdaya manusia, 
peningkatan produktivitas dan daya saing tenaga kerja Indonesia, upaya perluasan 
kesempatan kerja, pelayanan penempatan tenaga kerja, dan pembinaan hubungan 
industrial. 
Pembinaan hubungan industrial sebagai bagian dari pembangunan ketenagakerjaan 
harus diarahkan untuk terus mewujudkan hubungan industrial yang harmonis, 
dinamis, dan berkeadilan. Untuk itu, pengakuan dan penghargaan terhadap hak asasi 
manusia sebagaimana yang dituangkan dalam TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 
harus diwujudkan. Dalam bidang ketenagakerjaan, Ketetapan MPR ini merupakan 
tonggak utama dalam menegakkan demokrasi di tempat kerja. Penegakkan demokrasi 
di tempat kerja diharapkan dapat mendorong partisipasi yang optimal dari seluruh 
tenaga kerja dan pekerja/buruh Indonesia untuk membangun negara Indonesia yang 
dicita-citakan. 
Beberapa peraturan perundang-undangan tentang ketenagakerjaan yang berlaku 
selama ini, termasuk sebagian yang merupakan produk kolonial, menempatkan 
pekerja pada posisi yang kurang menguntungkan dalam pelayanan penempatan tenaga 
kerja dan sistem hubungan industrial yang menonjolkan perbedaan kedudukan dan 
kepentingan sehingga dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masa kini 
dan tuntutan masa yang akan datang. 
Peraturan perundang-undangan tersebut adalah : 

• 
Ordonansi tentang Pengerahan Orang Indonesia Untuk Melakukan Pekerjaan Di 
Luar Indonesia (Staatsblad tahun 1887 No. 8); 
• 
Ordonansi tanggal 17 Desember 1925 Peraturan tentang Pembatasan Kerja Anak 
Dan Kerja Malam bagi Wanita (Staatsblad Tahun 1925 Nomor 647); 
• 
Ordonansi Tahun 1926 Peraturan Mengenai Kerja Anak-anak dan Orang Muda Di 
Atas Kapal (Staatsblad Tahun 1926 Nomor 87); 
• 
Ordonansi tanggal 4 Mei 1936 tentang Ordonansi untuk Mengatur Kegiatankegiatan 
Mencari Calon Pekerja (Staatsblad Tahun 1936 Nomor 208); 
• 
Ordonansi tentang Pemulangan Buruh yang Diterima atau Dikerahkan Dari Luar 
Indonesia (Staatsblad Tahun 1939 Nomor 545); 
• 
Ordonansi Nomor 9 Tahun 1949 tentang Pembatasan Kerja Anak-anak (Staatsblad 
Tahun 1949 Nomor 8); 

• 
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undangundang 
Kerja tahun 1948 Nomor 12 dari Republik Indonesia untuk Seluruh 
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 2); 
• 
Undang-undang Nomor 21 tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara 
Serikat Buruh dan Majikan (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 69, Tambahan 
Lembaran Negara Nomor 598 a); 
• 
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang Penempatan Tenaga Asing 
(Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 8); 
• 
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1961 tentang Wajib Kerja Sarjana (Lembaran 
Negara Tahun 1961 Nomor 207, Tambahan Lembaran Negara Nomor 
2270); 
• 
Undang-undang Nomor 7 Pnps Tahun 1963 tentang Pencegahan Pemogokan 
dan/atau Penutupan (Lock Out) Di Perusahaan, Jawatan dan Badan yang Vital 
(Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 67); 
• 
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok 
mengenai Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan 
Lembaran Negara Nomor 2912); 
• 
Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran 
Negara Tahun 1997 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3702); 
• 
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undangundang 
Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Tahun 
1998 Nomor 184, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3791); dan 
• 
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah 
Pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undangundang 
Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undang-undang 
Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan Menjadi Undang-undang 
(Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 240, Tambahan Lembaran Negara Nomor 
4042). 
Peraturan perundang-undangan tersebut di atas dipandang perlu untuk dicabut dan 
diganti dengan Undang-undang yang baru. Ketentuan-ketentuan yang masih relevan 
dari peraturan perundang-undangan yang lama ditampung dalam Undang-undang ini. 
Peraturan pelaksanaan dari undang-undang yang telah dicabut masih tetap berlaku 
sebelum ditetapkannya peraturan baru sebagai pengganti. 
Undang-undang ini disamping untuk mencabut ketentuan yang tidak sesuai lagi 
dengan tuntutan dan perkembangan zaman, dimaksudkan juga untuk menampung 
perubahan yang sangat mendasar di segala aspek kehidupan bangsa Indonesia dengan 
dimulainya era reformasi tahun 1998. 
Di bidang ketenagakerjaan internasional, penghargaan terhadap hak asasi manusia di 
tempat kerja dikenal melalui 8 (delapan) konvensi dasar International Labour 
Organization (ILO). Konvensi dasar ini terdiri atas 4 (empat) kelompok yaitu : 

• 
Kebebasan Berserikat (Konvensi ILO Nomor 87 dan Nomor 98); 
• 
Diskriminasi (Konvensi ILO Nomor 100 dan Nomor 111); 
• 
Kerja Paksa (Konvensi ILO Nomor 29 dan Nomor 105); dan 
· Perlindungan Anak (Konvensi ILO Nomor 138 dan Nomor 182 ). 
Komitmen bangsa Indonesia terhadap penghargaan pada hak asasi manusia di tempat 
kerja antara lain diwujudkan dengan meratifikasi kedelapan konvensi dasar tersebut. 
Sejalan dengan ratifikasi konvensi mengenai hak dasar tersebut, maka Undang-undang 
ketenagakerjaan yang disusun ini harus pula mencerminkan ketaatan dan penghargaan 
pada ketujuh prinsip dasar tersebut. 
Undang-undang ini antara lain memuat : 
• 
Landasan, asas, dan tujuan pembangunan ketenagakerjaan; 
• 
Perencanaan tenaga kerja dan informasi ketenagakerjaan; 
• 
Pemberian kesempatan dan perlakuan yang sama bagi tenaga kerja dan pekerja/ 
buruh; 
• 
Pelatihan kerja yang diarahkan untuk meningkatkan dan mengembangkan 
keterampilan serta keahlian tenaga kerja guna meningkatkan produktivitas kerja 
dan produktivitas perusahaan. 

• 
Pelayanan penempatan tenaga kerja dalam rangka pendayagunaan tenaga kerja 
secara optimal dan penempatan tenaga kerja pada pekerjaan yang sesuai dengan 
harkat dan martabat kemanusiaan sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah dan 
masyarakat dalam upaya perluasan kesempatan kerja; 
• 
Penggunaan tenaga kerja asing yang tepat sesuai dengan kompetensi yang 
diperlukan; 
• 
Pembinaan hubungan industrial yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila diarahkan 
untuk menumbuhkembangkan hubungan yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan 
antar para pelaku proses produksi; 
• 
Pembinaan kelembagaan dan sarana hubungan industrial, termasuk perjanjian 
kerja bersama, lembaga kerja sama bipartit, lembaga kerja sama tripartit, 
pemasyarakatan hubungan industrial dan penyelesaian perselisih-an hubungan 
industrial; 
• 
Perlindungan pekerja/buruh, termasuk perlindungan atas hak-hak dasar 
pekerja/buruh untuk berunding dengan pengusaha, perlindungan keselamatan, dan 
kesehatan kerja, perlindungan khusus bagi pekerja/buruh perempuan, anak, dan 
penyandang cacat, serta perlindungan tentang upah, kesejahteraan, dan jaminan 
sosial tenaga kerja; 
• 
Pengawasan ketenagakerjaan dengan maksud agar dalam peraturan perundangundangan 
di bidang ketenagakerjaan ini benar-benar dilaksana-kan sebagaimana 
mestinya. 
II. PASAL DEMI PASAL 
Pasal 1 
Cukup jelas 
Pasal 2 
Pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan dalam rangka pembangun-an manusia 
Indonesia seutuhnya. Oleh sebab itu, pembangunan ketenaga-kerjaan dilaksanakan 
untuk mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, makmur, 
dan merata baik materiil maupun spiritual. 
Pasal 3 
Asas pembangunan ketenagakerjaan pada dasarnya sesuai dengan asas pembangunan 
nasional, khususnya asas demokrasi Pancasila serta asas adil dan merata. 
Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan dengan 
berbagai pihak yaitu antara pemerintah, pengusaha dan pekerja/buruh. Oleh sebab itu, 
pembangunan ketenaga-kerjaan dilaksanakan secara terpadu dalam bentuk kerja sama 
yang saling mendukung. 
Pasal 4 
Huruf a 
Pemberdayaan dan pendayagunaan tenaga kerja merupakan suatu kegiatan yang 
terpadu untuk dapat memberikan kesempatan kerja seluas-luasnya bagi tenaga kerja 
Indonesia. Melalui pemberdayaan dan pendayagunaan ini diharapkan tenaga kerja 
Indonesia dapat berpartisipasi secara optimal dalam Pembangunan Nasional, namun 
dengan tetap menjunjung nilai-nilai kemanusiaannya. 
Huruf b 
Pemerataan kesempatan kerja harus diupayakan di seluruh wilayah Negara Kesatuan 
Republik Indonesia sebagai satu kesatuan pasar kerja dengan memberikan kesempatan 
yang sama untuk memperoleh pekerjaan bagi seluruh tenaga kerja Indonesia sesuai 
dengan bakat, minat, dan kemampuannya. Demikian pula pemerataan penempatan 
tenaga kerja perlu diupayakan agar dapat mengisi kebutuhan di seluruh sektor dan 
daerah. 
Huruf c 
Cukup jelas 
Huruf d 
Cukup jelas 
Pasal 5 


Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh 
pekerjaan dan penghidupan yang layak tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, 
agama, dan aliran politik sesuai dengan minat dan kemampuan tenaga kerja yang 
bersangkutan, termasuk perlakuan yang sama terhadap para penyandang cacat. 
Pasal 6 
Pengusaha harus memberikan hak dan kewajiban pekerja/buruh tanpa membedakan 
jenis kelamin, suku, ras, agama, warna kulit, dan aliran politik. 
Pasal 7 
Ayat (1) 
Perencanaan tenaga kerja yang disusun dan ditetapkan oleh pemerintah dilakukan 
melalui pendekatan perencanaan tenaga kerja nasional, daerah, dan sektoral. 
Ayat (2) 
Huruf a 
Yang dimaksud dengan perencanaan tenaga kerja makro adalah proses penyusunan 
rencana ketenagakerjaan secara sistematis yang memuat pendayagunaan tenaga 
kerja secara optimal, dan produktif guna mendukung pertum-buhan ekonomi atau 
sosial, baik secara nasional, daerah, maupun sektoral sehingga dapat membuka 
kesempatan kerja seluas-luasnya, meningkatkan produktivitas kerja dan meningkatkan 
kesejahteraan pekerja/buruh. 
Huruf b 
Yang dimaksud dengan perencanaan tenaga kerja mikro adalah proses penyusunan 
rencana ketenagakerjaan secara sistematis dalam suatu instansi, baik instansi 
pemerintah maupun swasta dalam rangka meningkatkan pendayagunaan tenaga kerja 
secara optimal dan produktif untuk mendukung pencapaian kinerja yang tinggi pada 
instansi atau perusahaan yang bersangkutan. 
Ayat (3) 
Cukup jelas 
Pasal 8 
Ayat (1) 
Informasi ketenagakerjaan dikumpulkan dan diolah sesuai dengan maksud disusunnya 
perencanaan tenaga kerja nasional, perencanaan tenaga kerja daerah provinsi atau 
kabupaten/kota. 
Ayat (2) 
Dalam rangka pembangunan ketenagakerjaan, partisipasi swasta diharapkan dapat 
memberikan informasi mengenai ketenagakerjaan. Pengertian swasta mencakup 
perusahaan, perguruan tinggi, dan lembaga swadaya masyarakat di pusat, provinsi 
atau kabupaten/ kota. 
Ayat (3) 
Cukup jelas 
Pasal 9 
Yang dimaksud dengan peningkatan kesejahteraan dalam pasal ini adalah kesejahteraan 
bagi tenaga kerja yang diperoleh karena terpenuhinya kompetensi kerja melalui pelatihan 
kerja. 
Pasal 10 
Ayat (1) 
Cukup jelas 
Ayat (2) 
Penetapan standar kompetensi kerja dilakukan oleh Menteri dengan mengikutsertakan 
sektor terkait. 
Ayat (3) 
Jenjang pelatihan kerja pada umumnya terdiri atas tingkat dasar, terampil, dan ahli. 
Ayat (4) 
Cukup jelas 
Pasal 11 
Cukup jelas 
Pasal 12 
Ayat (1) 


Pengguna tenaga kerja terampil adalah pengusaha, oleh karena itu pengusaha 
bertanggung jawab mengadakan pelatihan kerja untuk meningkatkan kompetensi 
pekerjanya. 
Ayat (2) 
Peningkatan dan/atau pengembangan kompetensi diwajibkan bagi pengusaha karena 
perusahaan yang akan memperoleh manfaat hasil kompetensi pekerja/buruh. 
Ayat (3) 
Pelaksanaan pelatihan kerja disesuaikan dengan kebutuhan serta kesempatan yang ada 
di perusahaan agar tidak mengganggu kelancaran kegiatan perusahaan. 
Pasal 13 
Ayat (1) 
Yang dimaksud dengan pelatihan kerja swasta juga termasuk pelatihan kerja 
perusahaan. 
Ayat (2) 
Cukup jelas 
Ayat (3) 
Cukup jelas 
Pasal 14 
Ayat (1) 
Cukup jelas 
Ayat (2) 
Cukup jelas 
Ayat (3) 
Pendaftaran kegiatan pelatihan yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah 
dimaksudkan untuk mendapatkan informasi sehingga hasil pelatihan, sarana dan 
prasarana pelatihan dapat berdayaguna dan berhasilguna secara optimal. 
Ayat (4) 


Cukup jelas 
Pasal 15 
Cukup jelas 
Pasal 16 
Cukup jelas 
Pasal 17 
Cukup jelas 
Pasal 18 
Ayat (1) 
Cukup jelas 
Ayat (2) 
Sertifikasi kompetensi adalah proses pemberian sertifikat kompetensi yang dilakukan 
secara sistematis dan obyektif melalui uji kompetensi yang mengacu kepada standar 
kompetensi nasional dan/atau internasional. 


Ayat (3) 
Cukup jelas 
Ayat (4) 
Cukup jelas 
Ayat (5) 
Cukup jelas 
Pasal 19 
Cukup jelas 
Pasal 20 
Ayat (1) 
Sistem pelatihan kerja nasional adalah keterkaitan dan keterpaduan berbagai unsur 
pelatihan kerja yang antara lain meliputi peserta, biaya, sarana, dan prasarana, tenaga 
kepelatihan, program dan metode, serta lulusan. Dengan adanya sistem pelatihan kerja 
nasional, semua unsur dan sumber daya pelatihan kerja nasional yang tersebar di 
instansi pemerintah, swasta, dan perusahaan dapat dimanfaatkan secara optimal. 
Ayat (2) 



Cukup jelas 
Pasal 21 
Cukup jelas 
Pasal 22 
Ayat (1) 
Cukup jelas 
Ayat (2) 
Hak peserta pemagangan antara lain memperoleh uang saku dan/atau uang transpor, 
memperoleh jaminan sosial tenaga kerja, memperoleh sertifikat apabila lulus di 
akhir program. 
Hak pengusaha antara lain berhak atas hasil kerja/jasa peserta pemagangan, merekrut 
pemagang sebagai pekerja/buruh bila memenuhi persyaratan. 
Kewajiban peserta pemagangan antara lain menaati perjanjian pemagangan, mengikuti 
tata tertib program pemagangan, dan mengikuti tata tertib perusahaan. 
Adapun kewajiban pengusaha antara lain menyediakan uang saku dan/atau uang 
transpor bagi peserta pemagangan, menyediakan fasilitas pelatihan, menyediakan 
instruktur, dan perlengkapan keselamatan dan kesehatan kerja. 
Jangka waktu pemagangan bervariasi sesuai dengan jangka waktu yang diperlukan untuk 
mencapai standar kompetensi yang ditetapkan dalam program pelatihan pemagangan. 
Ayat (3) 
Dengan status sebagai pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan, maka berhak 
atas segala hal yang diatur dalam peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. 
Pasal 23 
Sertifikasi dapat dilakukan oleh lembaga sertifikasi yang dibentuk dan/atau diakreditasi 
oleh pemerintah bila programnya bersifat umum, atau dilakukan oleh perusahaan yang 
bersangkutan bila programnya bersifat khusus. 
Pasal 24 
Cukup jelas 
Pasal 25 
Cukup jelas 
Pasal 26 
Cukup jelas 
Pasal 27 
Ayat (1) 
Cukup jelas 
Ayat (2) 
Yang dimaksud dengan kepentingan perusahaan dalam ayat ini adalah agar terjamin 
tersedianya tenaga terampil dan ahli pada tingkat kompetensi tertentu seperti juru las 
spesialis dalam air. 
Yang dimaksud dengan kepentingan masyarakat misalnya untuk membuka 
kesempatan bagi masyarakat memanfaatkan industri yang bersifat spesifik seperti 
teknologi budidaya tanaman dengan kultur jaringan. 
Yang dimaksud dengan kepentingan negara misalnya untuk menghemat devisa negara, 
maka perusahaan diharuskan melaksanakan program pemagangan seperti keahlian 
membuat alat-alat pertanian modern. 
Pasal 28 
Cukup jelas 
Pasal 29 
Cukup jelas 
Pasal 30 
Cukup jelas 
Pasal 31 
Cukup jelas 
Pasal 32 
Ayat (1) 
Yang dimaksud dengan terbuka adalah pemberian informasi kepada pencari kerja 
secara jelas antara lain jenis pekerjaan, besarnya upah, dan jam kerja. Hal ini 


diperlukan untuk melindungi pekerja/buruh serta untuk menghindari terjadinya 
perselisihan setelah tenaga kerja ditempatkan. 
Yang dimaksud dengan bebas adalah pencari kerja bebas memilih jenis pekerjaan dan 
pemberi kerja bebas memilih tenaga kerja, sehingga tidak dibenarkan pencari kerja 
dipaksa untuk menerima suatu pekerjaan dan pemberi kerja tidak dibenarkan dipaksa 
untuk menerima tenaga kerja yang ditawarkan. 
Yang dimaksud dengan obyektif adalah pemberi kerja agar menawarkan pekerjaan 
yang cocok kepada pencari kerja sesuai dengan kemampuannya dan persyaratan 
jabatan yang dibutuhkan, serta harus memperhatikan kepentingan umum dengan tidak 
memihak kepada kepentingan pihak tertentu. 
Yang dimaksud dengan adil dan setara adalah penempatan tenaga kerja dilakukan 
berdasarkan kemampuan tenaga kerja dan tidak didasarkan atas ras, jenis kelamin, 
warna kulit, agama, dan aliran politik. 
Ayat (2) 
Cukup jelas 
Ayat (3) 
Pemerataan kesempatan kerja harus diupayakan di seluruh wilayah Negara Republik 
Indonesia sebagai satu kesatuan pasar kerja nasional dengan memberikan kesempatan 
yang sama untuk memperoleh pekerjaan bagi seluruh tenaga kerja sesuai dengan 
bakat, minat, dan kemampuannya. Demikian pula pemerataan kesempatan kerja perlu 
diupayakan agar dapat mengisi kebutuhan tenaga kerja di seluruh sektor dan daerah. 
Pasal 33 
Cukup jelas 
Pasal 34 
Sebelum undang-undang mengenai penempatan tenaga kerja di luar negeri 
diundangkan maka segala peraturan perundangan yang mengatur penempatan tenaga 
kerja di luar negeri tetap berlaku. 
Pasal 35 
Ayat (1) 
Yang dimaksud pemberi kerja adalah pemberi kerja di dalam negeri. 
Ayat (2) 
Cukup jelas 
Ayat (3) 
Cukup jelas 
Pasal 36 
Cukup jelas 
Pasal 37 
Ayat (1) 
Huruf a 
Penetapan instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di 
tingkat pusat dan daerah ditentukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan 
yang berlaku. 
Huruf b 
Cukup jelas 
Ayat (2) 
Cukup jelas 
Pasal 38 
Cukup jelas 
Pasal 39 
Cukup jelas 
Pasal 40 
Cukup jelas 
Pasal 41 
Karena upaya perluasan kesempatan kerja mencakup lintas sektoral, maka harus 
disusun kebijakan nasional di semua sektor yang dapat menyerap tenaga kerja secara 
optimal. Agar kebijakan nasional tersebut dapat dilaksanakan dengan baik, maka 
pemerintah dan masyarakat bersama-sama mengawasinya secara terkoordinasi. 


Pasal 42 
Ayat (1) 
Perlunya pemberian izin penggunaan tenaga kerja warga negara asing dimaksudkan 
agar penggunaan tenaga kerja warga negara asing dilaksanakan secara selektif dalam 
rangka pendayagunaan tenaga kerja Indonesia secara optimal. 
Ayat (2) 
Cukup jelas 
Ayat (3) 
Cukup jelas 
Ayat (4) 
Cukup jelas 
Ayat (5) 
Cukup jelas 
Ayat (6) 
Cukup jelas 
Pasal 43 
Ayat (1) 
Rencana penggunaan tenaga kerja warga negara asing merupakan persyaratan untuk 
mendapatkan izin kerja (IKTA). 
Ayat (2) 
Cukup jelas 
Ayat (3) 
Yang dimaksud dengan badan internasional dalam ayat ini adalah badan-badan 
internasional yang tidak mencari keuntungan seperti lembaga yang bernaung di bawah 
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) antara lain ILO, WHO, atau UNICEF. 
Ayat (4) 
Cukup jelas 
Pasal 44 
Ayat (1) 
Yang dimaksud dengan standar kompetensi adalah kualifikasi yang harus dimiliki oleh 
tenaga kerja warga negara asing antara lain pengetahuan, keahlian, keterampilan di 
bidang tertentu, dan pemahaman budaya Indonesia. 
Ayat (2) 
Cukup jelas 
Pasal 45 
Ayat (1) 
Huruf a 
Tenaga kerja pendamping tenaga kerja asing tidak secara otomatis menggantikan atau 
menduduki jabatan tenaga kerja asing yang didampinginya. Pendampingan tersebut 
lebih dititikberatkan pada alih teknologi dan alih keahlian agar tenaga kerja 
pendamping tersebut dapat memiliki kemampuan sehingga pada waktunya diharapkan 
dapat mengganti tenaga kerja asing yang didampinginya. 
Huruf b 
Pendidikan dan pelatihan kerja oleh pemberi kerja tersebut dapat dilaksanakan baik di 
dalam negeri maupun dengan mengirimkan tenaga kerja Indonesia untuk berlatih di 
luar negeri. 
Ayat (2) 
Cukup jelas 
Pasal 46 
Cukup jelas 
Pasal 47 
Ayat (1) 
Kewajiban membayar kompensasi dimaksudkan dalam rangka menunjang upaya 
peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia. 
Ayat (2) 
Cukup jelas 


Ayat (3) 
Cukup jelas 
Ayat (4) 
Cukup jelas 
Pasal 48 
Cukup jelas 
Pasal 49 
Cukup jelas 
Pasal 50 
Cukup jelas 
Pasal 51 
Ayat (1) 
Pada prinsipnya perjanjian kerja dibuat secara tertulis, namun melihat kondisi 
masyarakat yang beragam dimungkinkan perjanjian kerja secara 
lisan. 
Ayat (2) 
Perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis harus sesuai dengan peraturan 
perundang-undangan yang berlaku, antara lain perjanjian kerja waktu tertentu, 
antarkerja antardaerah, antarkerja antarnegara, dan perjanjian kerja laut. 
Pasal 52 
Ayat (1) 
Huruf a 
Cukup jelas 
Huruf b 
Yang dimaksud dengan kemampuan atau kecakapan adalah para pihak yang mampu 
atau cakap menurut hukum untuk membuat perjanjian. Bagi tenaga kerja anak, yang 
menandatangani perjanjian adalah orang tua atau walinya. 
Huruf c 
Cukup jelas 
Huruf d 
Cukup jelas 
Ayat (2) 
Cukup jelas 
Ayat (3) 
Cukup jelas 
Pasal 53 
Cukup jelas 
Pasal 54 
Ayat (1) 
Cukup jelas 
Ayat (2) 
Yang dimaksud dengan tidak boleh bertentangan dalam ayat ini adalah apabila di 
perusahaan telah ada peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, maka isi 
perjanjian kerja baik kualitas maupun kuantitas tidak boleh lebih rendah dari peraturan 
perusahaan atau perjanjian kerja bersama di perusahaan yang 
bersangkutan. 
Ayat (3) 
Cukup jelas 
Pasal 55 
Cukup jelas 
Pasal 56 
Cukup jelas 
Pasal 57 
Cukup jelas 
Pasal 58 
Cukup jelas 


Pasal 59 
Ayat (1) 
Perjanjian kerja dalam ayat ini dicatatkan ke instansi yang bertanggung jawab 
dibidang ketenagakerjaan. 
Ayat (2) 
Yang dimaksud dengan pekerjaan yang bersifat tetap dalam ayat ini adalah pekerjaan 
yang sifatnya terus menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu dan merupakan 
bagian dari suatu proses produksi dalam satu perusahaan atau pekerjaan yang bukan 
musiman. 
Pekerjaan yang bukan musiman adalah pekerjaan yang tidak tergantung cuaca atau 
suatu kondisi tertentu. Apabila pekerjaan itu merupakan pekerjaan yang terus 
menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu, dan merupakan bagian dari suatu 
proses produksi, tetapi tergantung cuaca atau pekerjaan itu dibutuhkan karena adanya 
suatu kondisi tertentu maka pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan musiman yang 
tidak termasuk pekerjaan tetap sehingga dapat menjadi obyek perjanjian kerja waktu 
tertentu. 
Ayat (3) 
Cukup jelas 
Ayat (4) 
Cukup jelas 
Ayat (5) 
Cukup jelas 
Ayat (6) 
Cukup jelas 
Ayat (7) 
Cukup jelas 
Ayat (8) 
Cukup jelas 
Pasal 60 
Ayat (1) 
Syarat masa percobaan kerja harus dicantumkan dalam perjanjian kerja. Apabila 
perjanjian kerja dilakukan secara lisan, maka syarat masa percobaan kerja harus 
diberitahukan kepada pekerja yang bersangkutan dan dicantumkan dalam surat 
pengangkatan. Dalam hal tidak dicantumkan dalam perjanjian kerja atau dalam surat 
pengangkatan, maka ketentuan masa percobaan kerja dianggap tidak 
ada. 
Ayat (2) 
Cukup jelas 
Pasal 61 
Ayat (1) 
Huruf a 
Cukup jelas 
Huruf b 
Cukup jelas 
Huruf c 
Cukup jelas 
Huruf d 
Keadaan atau kejadian tertentu seperti bencana alam, kerusuhan sosial, atau gangguan 
keamanan. 
Ayat (2) 
Cukup jelas 
Ayat (3) 
Cukup jelas 
Ayat (4) 
Cukup jelas 


Ayat (5) 
Yang dimaksud hak-hak yang sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku atau 
hak-hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau 
perjanjian kerja bersama adalah hak-hak yang harus diberikan yang lebih baik dan 
menguntungkan pekerja/buruh yang bersangkutan. 
Pasal 62 
Cukup jelas 
Pasal 63 
Cukup jelas 
Pasal 64 
Cukup jelas 
Pasal 65 
Cukup jelas 
Pasal 66 
Ayat (1) 
Pada pekerjaan yang berhubungan dengan kegiatan usaha pokok atau kegiatan yang 
berhubungan langsung dengan proses produksi, pengusaha hanya diperbolehkan 
mempekerjakan pekerja/buruh dengan perjanjian kerja waktu tertentu dan/atau 
perjanjian kerja waktu tidak tertentu. 
Yang dimaksud kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan 
langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan di luar usaha 
pokok (core business) suatu perusahaan. 
Kegiatan tersebut antara lain: usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha 

penyediaan makanan bagi pekerja/buruh catering, usaha tenaga pengaman 
(security/satuan pengamanan), usaha jasa penunjang di pertambangan dan 
perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh. 
Ayat (2) 
Huruf a 
Cukup jelas 
Huruf b 
Cukup jelas 

Huruf c 
Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja maupun penyelesaian 
perselisihan antara penyedia jasa tenaga kerja dengan pekerja/buruh harus sesuai 
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 
Pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh memperoleh 
hak (yang sama) sesuai dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian 
kerja bersama atas perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta 
perselisihan yang timbul dengan pekerja/ buruh lainnya di perusahaan pengguna jasa 
pekerja/buruh. 
Huruf d 
Cukup jelas 
Ayat (3) 
Cukup jelas 
Ayat (4) 
Cukup jelas 
Pasal 67 
Ayat (1) 
Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini misalnya penyediaan 
aksesibilitas, pemberian alat kerja, dan alat pelindung diri yang disesuaikan dengan 
jenis dan derajat kecacatannya. 
Ayat (2) 
Cukup jelas 
Pasal 68 
Cukup jelas 
Pasal 69 
Cukup jelas 


Pasal 70 
Cukup jelas 

Pasal 71 
Ayat (1) 
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk melindungi anak agar pengembangan 
bakat dan minat anak yang pada umumnya muncul pada usia ini tidak terhambat. 
Ayat (2) 
Cukup jelas 
Ayat (3) 
Cukup jelas 
Pasal 72 
Cukup jelas 
Pasal 73 
Cukup jelas 
Pasal 74 
Cukup jelas 
Pasal 75 
Ayat (1) 
Penanggulangan anak yang bekerja di luar hubungan kerja dimaksudkan untuk 
menghapuskan atau mengurangi anak yang bekerja di luar hubungan kerja. Upaya 
tersebut harus dilakukan secara terencana, terpadu, dan terkoordinasi dengan instansi 
terkait. 
Anak yang bekerja di luar hubungan kerja misalnya anak penyemir sepatu atau anak 
penjual koran. 
Ayat (2) 
Cukup jelas 
Pasal 76 
Ayat (1) 
Yang bertanggung jawab atas pelanggaran ayat ini adalah pengusaha. Apabila 
pekerja/buruh perempuan yang dimaksud dalam ayat ini dipekerjakan antara pukul 

23.00 sampai dengan pukul 07.00 maka yang bertanggung jawab atas pelanggaran 
tersebut adalah pengusaha. 
Ayat (2) 
Cukup jelas 
Ayat (3) 
Cukup jelas 
Ayat (4) 
Cukup jelas 
Ayat (5) 
Cukup jelas 
Pasal 77 
Ayat (1) 
Cukup jelas 
Ayat (2) 
Cukup jelas 
Ayat (3) 
Yang dimaksud sektor usaha atau pekerjaan tertentu dalam ayat ini misalnya 
pekerjaan di pengeboran minyak lepas pantai, sopir angkutan jarak jauh, penerbangan 
jarak jauh, pekerjaan di kapal (laut), atau penebangan hutan. 
Ayat (4) 
Cukup jelas 
Pasal 78 
Ayat (1) 
Mempekerjakan lebih dari waktu kerja sedapat mungkin harus dihindarkan karena 
pekerja/buruh harus mempunyai waktu yang cukup untuk istirahat dan memulihkan 
kebugarannya. Namun, dalam hal-hal tertentu terdapat kebutuhan yang mendesak 

yang harus diselesaikan segera dan tidak dapat dihindari sehingga pekerja/buruh harus 
bekerja melebihi waktu kerja. 
Ayat (2) 
Cukup jelas 
Ayat (3) 
Cukup jelas 
Ayat (4) 
Cukup jelas 
Pasal 79 
Ayat (1) 
Cukup jelas 
Ayat (2) 
Huruf a 
Cukup jelas 
Huruf b 
Cukup jelas 
Huruf c 
Cukup jelas 
Huruf d 
Selama menjalankan istirahat panjang, pekerja/buruh diberi uang kompensasi hak 
istirahat tahunan tahun kedelapan sebesar ½ (setengah) bulan gaji dan bagi perusahaan 
yang telah memberlakukan istirahat panjang yang lebih baik dari ketentuan undangundang 
ini, maka tidak boleh mengurangi dari ketentuan yang sudah ada. 
Ayat (3) 
Cukup jelas 
Ayat (4) 
Cukup jelas 
Ayat (5) 
Cukup jelas 
Pasal 80 
Yang dimaksud kesempatan secukupnya yaitu menyediakan tempat untuk 
melaksanakan ibadah yang memungkinkan pekerja/buruh dapat melaksanakan 
ibadahnya secara baik, sesuai dengan kondisi dan kemampuan perusahaan. 
Pasal 81 
Cukup jelas 
Pasal 82 
Ayat (1) 
Lamanya istirahat dapat diperpanjang berdasarkan surat keterangan dokter kandungan 
atau bidan, baik sebelum maupun setelah melahirkan. 
Ayat (2) 
Cukup jelas 
Pasal 83 
Yang dimaksud dengan kesempatan sepatutnya dalam pasal ini adalah lamanya waktu 
yang diberikan kepada pekerja/buruh perempuan untuk menyusui bayinya dengan 
memperhatikan tersedianya tempat yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan 
perusahaan, yang diatur dalam peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. 
Pasal 84 
Cukup jelas 
Pasal 85 
Ayat (1) 
Cukup jelas 
Ayat (2) 
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk melayani kepentingan dan kesejahteraan 
umum. Di samping itu untuk pekerjaan yang karena sifat dan jenis pekerjaannya 
tidak memungkinkan pekerjaan itu dihentikan. 
Ayat (3) 
Cukup jelas 


Ayat (4) 
Cukup jelas 
Pasal 86 
Ayat (1) 
Cukup jelas 
Ayat (2) 
Upaya keselamatan dan kesehatan kerja dimaksudkan untuk memberikan jaminan 
keselamatan dan meningkatkan derajat kesehatan para pekerja/buruh dengan cara 
pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat kerja, pengendalian bahaya di tempat 
kerja, promosi kesehatan, pengobatan, dan rehabilitasi. 
Ayat (3) 
Cukup jelas 
Pasal 87 
Ayat (1) 
Yang dimaksud dengan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja adalah 
bagian dari sistem manajemen perusahaan secara keseluruhan yang meliputi struktur 
organisasi, perencanaan, pelaksanaan, tanggung jawab, prosedur, proses, dan sumber 
daya yang dibutuhkan bagi pengembangan penerapan, pencapaian, pengkajian, dan 
pemeliharaan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dalam rangka pengendalian 
risiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, 
efisien, dan produktif. 
Ayat (2) 
Cukup jelas 
Pasal 88 
Ayat (1) 
Yang dimaksud dengan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak adalah 
jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/ buruh dari hasil pekerjaannya sehingga 
mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang 
meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, 
rekreasi, dan jaminan hari tua. 
Ayat (2) 
Cukup jelas 
Ayat (3) 
Cukup jelas 
Ayat (4) 
Cukup jelas 
Pasal 89 
Ayat (1) 
Huruf a 
Cukup jelas 
Huruf b 
Upah minimum sektoral dapat ditetapkan untuk kelompok lapangan usaha beserta 
pembagiannya menurut klasifikasi lapangan usaha Indonesia untuk kabupaten/kota, 
provinsi, beberapa provinsi atau nasional dan tidak boleh lebih rendah dari upah 
minimum regional daerah yang bersangkutan. 
Ayat (2) 
Yang dimaksud dengan diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup layak dalam 
ayat ini ialah setiap penetapan upah minimum harus disesuaikan dengan tahapan 
pencapaian perbandingan upah minimum dengan kebutuhan hidup layak yang 
besarannya ditetapkan oleh Menteri. 
Ayat (3) 
Cukup jelas 
Ayat (4) 
Pencapaian kebutuhan hidup layak perlu dilakukan secara bertahap karena kebutuhan 
hidup layak tersebut merupakan peningkatan dari kebutuhan hidup minimum yang 
sangat ditentukan oleh tingkat kemampuan dunia usaha. 
Pasal 90 


Ayat (1) 
Cukup jelas 
Ayat (2) 
Penangguhan pelaksanaan upah minimum bagi perusahaan yang tidak mampu 
dimaksudkan untuk membebaskan perusahaan yang bersangkutan melaksanakan upah 
minimum yang berlaku dalam kurun waktu tertentu. Apabila penangguhan tersebut 
berakhir maka perusahaan yang bersangkutan wajib melaksanakan upah minimum 
yang berlaku pada saat itu tetapi tidak wajib membayar pemenuhan ketentuan upah 
minimum yang berlaku pada waktu diberikan penangguhan. 
Ayat (3) 
Cukup jelas 
Pasal 91 
Cukup jelas 
Pasal 92 
Ayat (1) 
Penyusunan struktur dan skala upah dimaksudkan sebagai pedoman penetapan upah 
sehingga terdapat kepastian upah tiap pekerja/buruh serta untuk mengurangi 
kesenjangan antara upah terendah dan tertinggi di perusahaan yang bersangkutan. 
Ayat (2) 
Peninjauan upah dilakukan untuk penyesuaian harga kebutuhan hidup, prestasi kerja, 
perkembangan, dan kemampuan perusahaan. 
Ayat (3) 
Cukup jelas 
Pasal 93 
Ayat (1) 
Ketentuan ini merupakan asas yang pada dasarnya berlaku untuk semua 
pekerja/buruh, kecuali apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak dapat 
melakukan pekerjaan bukan karena kesalahannya. 
Ayat (2) 
Huruf a 
Yang dimaksud pekerja/buruh sakit ialah sakit menurut keterangan 
dokter. 
Huruf b 
Cukup jelas 
Huruf c 
Cukup jelas 
Huruf d 
Yang dimaksud dengan menjalankan kewajiban terhadap negara adalah melaksanakan 
kewajiban negara yang telah diatur dengan peraturan perundang-undangan. 
Pembayaran upah kepada pekerja/buruh yang menjalankan kewajiban terhadap negara 
dilaksanakan apabila : 

a. negara tidak melakukan pembayaran; atau 
b. negara membayar kurang dari upah yang biasa diterima pekerja/buruh, dalam hal 
ini maka pengusaha wajib membayar kekurangannya. 
Huruf e 
Yang dimaksud dengan menjalankan kewajiban ibadah menurut agamanya adalah 
melaksanakan kewajiban ibadah menurut agamanya yang telah diatur dengan 
peraturan perundang-undangan. 
Huruf f 
Cukup jelas 
Huruf g 
Cukup jelas 
Huruf h 
Cukup jelas 
Huruf i 
Cukup jelas 
Ayat (3) 


Cukup jelas 

Ayat (4) 
Cukup jelas 
Ayat (5) 
Cukup jelas 
Pasal 94 
Yang dimaksud dengan tunjangan tetap dalam pasal ini adalah pembayaran 
kepada pekerja/buruh yang dilakukan secara teratur dan tidak dikaitkan dengan 
kehadiran pekerja/buruh atau pencapaian prestasi kerja tertentu. 
Pasal 95 
Ayat (1) 
Cukup jelas 
Ayat (2) 
Cukup jelas 
Ayat (3) 
Cukup jelas 
Ayat (4) 
Yang dimaksud didahulukan pembayarannya adalah upah pekerja/buruh harus dibayar 
lebih dahulu dari pada utang lainnya. 
Pasal 96 
Cukup jelas 
Pasal 97 
Cukup jelas 
Pasal 98 
Cukup jelas 
Pasal 99 
Cukup jelas 
Pasal 100 
Ayat (1) 
Yang dimaksud dengan fasilitas kesejahteraan antara lain pelayanan keluarga 
berencana, tempat penitipan anak, perumahan pekerja/buruh, fasilitas beribadah, 
fasilitas olah raga, fasilitas kantin, fasilitas kesehatan, dan fasilitas rekreasi. 
Ayat (2) 
Cukup jelas 
Ayat (3) 
Cukup jelas 
Pasal 101 
Ayat (1) 
Yang dimaksud dengan usaha-usaha produktif di perusahaan adalah kegiatan yang 
bersifat ekonomis yang menghasilkan pendapatan di luar upah. 
Ayat (2) 
Cukup jelas 
Ayat (3) 
Cukup jelas 
Ayat (4) 
Cukup jelas 
Pasal 102 
Cukup jelas 
Pasal 103 
Cukup jelas 
Pasal 104 
Ayat (1) 
Kebebasan untuk membentuk, masuk atau tidak masuk menjadi anggota serikat 
pekerja/serikat buruh merupakan salah satu hak dasar pekerja/buruh. 
Ayat (2) 
Cukup jelas 


Ayat (3) 
Cukup jelas 
Pasal 105 
Cukup jelas 
Pasal 106 
Ayat (1) 
Pada perusahaan dengan jumlah pekerja/buruh kurang dari 50 (lima puluh) orang, 
komunikasi dan konsultasi masih dapat dilakukan secara individual dengan baik dan 
efektif. Pada perusahaan dengan jumlah pekerja/buruh 50 (lima puluh) orang atau 
lebih, komunikasi dan konsultasi perlu dilakukan melalui sistem perwakilan. 
Ayat (2) 
Cukup jelas 
Ayat (3) 
Cukup jelas 
Ayat (4) 
Cukup jelas 
Pasal 107 
Cukup jelas 
Pasal 108 
Cukup jelas 
Pasal 109 
Cukup jelas 
Pasal 110 
Cukup jelas 
Pasal 111 
Ayat (1) 
Huruf a 
Cukup jelas 
Huruf b 
Cukup jelas 
Huruf c 
Yang dimaksud dengan syarat kerja adalah hak dan kewajiban pengusaha dan 
pekerja/buruh yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan. 
Huruf d 
Cukup jelas 
Huruf e 
Cukup jelas 
Ayat (2) 
Yang dimaksud dengan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan 
perundang-undangan yang berlaku adalah peraturan perusahaan tidak boleh lebih 
rendah kualitas atau kuantitasnya dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, 
dan apabila ternyata bertentangan, maka yang berlaku adalah ketentuan peraturan 
perundang-undangan. 
Ayat (3) 
Cukup jelas 
Ayat (4) 
Cukup jelas 
Ayat (5) 
Cukup jelas 
Pasal 112 
Cukup jelas 
Pasal 113 
Cukup jelas 
Pasal 114 
Pemberitahuan dilakukan dengan cara membagikan salinan peraturan perusahaan 
kepada setiap pekerja/buruh, menempelkan di tempat yang mudah dibaca oleh para 
pekerja/buruh, atau memberikan penjelasan langsung kepada pekerja/buruh. 


Pasal 115 
Cukup jelas 
Pasal 116 
Ayat (1) 
Cukup jelas 
Ayat (2) 
Pembuatan perjanjian kerja bersama harus dilandasi dengan itikad baik, yang berarti 
harus ada kejujuran dan keterbukaan para pihak serta kesukarelaan/kesadaran yang 
artinya tanpa ada tekanan dari satu pihak terhadap pihak lain. 
Ayat (3) 
Dalam hal perjanjian kerja bersama dibuat dalam bahasa Indonesia dan diterjemahkan 
dalam bahasa lain, apabila terjadi perbedaan penafsiran, maka yang berlaku perjanjian 
kerja bersama yang menggunakan bahasa Indonesia. 
Ayat (4) 
Cukup jelas 
Pasal 117 
Penyelesaian melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial dapat 
dilakukan melalui lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. 
Pasal 118 
Cukup jelas 
Pasal 119 
Cukup jelas 
Pasal 120 
Cukup jelas 
Pasal 121 
Cukup jelas 
Pasal 122 
Cukup jelas 
Pasal 123 
Cukup jelas 
Pasal 124 
Ayat (1) 
Cukup jelas 
Ayat (2) 
Yang dimaksud tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang 
berlaku adalah kualitas dan kuantitas isi perjanjian kerja bersama tidak boleh lebih 
rendah dari peraturan perundangan-undangan. 
Ayat (3) 
Cukup jelas 
Pasal 125 
Cukup jelas 
Pasal 126 
Cukup jelas 
Pasal 127 
Cukup jelas 
Pasal 128 
Cukup jelas 
Pasal 129 
Cukup jelas 
Pasal 130 
Cukup jelas 
Pasal 131 
Cukup jelas 
Pasal 132 
Cukup jelas 
Pasal 133 
Cukup jelas 


Pasal 134 
Cukup jelas 
Pasal 135 
Cukup jelas 
Pasal 136 
Cukup jelas 
Pasal 137 
Yang dimaksud dengan gagalnya perundingan dalam pasal ini adalah tidak 
tercapainya kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dapat 
disebabkan karena pengusaha tidak mau melakukan perundingan atau perundingan 
mengalami jalan buntu. 
Yang dimaksud dengan tertib dan damai adalah tidak mengganggu keamanan dan 
ketertiban umum, dan/atau mengancam keselamatan jiwa dan harta benda milik 
perusahaan atau pengusaha atau orang lain atau milik masyarakat. 
Pasal 138 
Cukup jelas 
Pasal 139 

• 
Yang dimaksud dengan perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau 
perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia 
adalah rumah sakit, dinas pemadam kebakaran, penjaga pintu perlintasan kereta 
api, pengontrol pintu air, pengontrol arus lalu lintas udara, dan pengontrol arus lalu 
lintas laut. 
• 
Yang dimaksud dengan pemogokan yang diatur sedemikian rupa yaitu pemogokan 
yang dilakukan oleh para pekerja/buruh yang tidak sedang menjalankan tugas. 
Pasal 140 
Ayat (1) 
Cukup jelas 
Ayat (2) 
Huruf a 
Cukup jelas 
Huruf b 
Tempat mogok kerja adalah tempat-tempat yang ditentukan oleh penanggung jawab 
pemogokan yang tidak menghalangi pekerja/buruh lain untuk bekerja. 
Huruf c 
Cukup jelas 
Huruf d 
Cukup jelas 
Ayat (3) 
Cukup jelas 
Ayat (4) 
Cukup jelas 
Pasal 141 
Cukup jelas 
Pasal 142 
Cukup jelas 
Pasal 143 
Ayat (1) 
Yang dimaksud dengan menghalang-halangi dalam ayat ini antara lain dengan cara : 

a. 
menjatuhkan hukuman; 
b. 
mengintimidasi dalam bentuk apapun; atau 
c. melakukan mutasi yang merugikan. 
Ayat (2) 
Cukup jelas 
Pasal 144 
Cukup jelas 
Pasal 145 

Yang dimaksud dengan sungguh-sungguh melanggar hak normatif adalah pengusaha 
secara nyata tidak bersedia memenuhi kewajibannya sebagaimana dimaksud dan/atau 
ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, 
atau peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan, meskipun sudah ditetapkan dan 
diperintahkan oleh pejabat yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. 
Pembayaran upah pekerja/buruh yang mogok dalam pasal ini tidak menghilangkan 

ketentuan pengenaan sanksi terhadap pengusaha yang melakukan pelanggaran 
ketentuan normatif. 
Pasal 146 
Ayat (1) 
Cukup jelas 
Ayat (2) 
Cukup jelas 
Ayat (3) 
Dalam hal penutupan perusahaan (lock out) dilakukan secara tidak sah atau 

sebagai tindakan balasan terhadap mogok yang sah atas tuntutan normatif, maka 
pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh. 
Pasal 147 
Cukup jelas 
Pasal 148 
Cukup jelas 
Pasal 149 
Cukup jelas 
Pasal 150 
Cukup jelas 
Pasal 151 
Ayat (1) 
Yang dimaksud dengan segala upaya dalam ayat ini adalah kegiatan-kegiatan yang 
positif yang pada akhirnya dapat menghindari terjadinya pemutusan hubungan kerja 
antara lain pengaturan waktu kerja, penghematan, pembenahan metode kerja, dan 
memberikan pembinaan kepada pekerja/buruh. 
Ayat (2) 
Cukup jelas 
Ayat (3) 
Cukup jelas 
Pasal 152 
Cukup jelas 
Pasal 153 
Cukup jelas 
Pasal 154 
Cukup jelas 
Pasal 155 
Cukup jelas 
Pasal 156 
Cukup jelas 
Pasal 157 
Cukup jelas 
Pasal 158 
Cukup jelas 
Pasal 159 
Cukup jelas 
Pasal 160 
Ayat (1) 
Keluarga pekerja/buruh yang menjadi tanggungan adalah isteri/suami, anak atau orang 
yang sah menjadi tanggungan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, peraturan 
perusahaan atau perjanjian kerja bersama. 
Ayat (2) 


Cukup jelas 
Ayat (3) 
Cukup jelas 
Ayat (4) 
Cukup jelas 
Ayat (5) 
Cukup jelas 
Ayat (6) 
Cukup jelas 
Ayat (7) 
Cukup jelas 
Pasal 161 
Ayat (1) 
Cukup jelas 
Ayat (2) 
Masing-masing surat peringatan dapat diterbitkan secara berurutan atau tidak, sesuai 
dengan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau 
perjanjian kerja bersama. 
Dalam hal surat peringatan diterbitkan secara berurutan maka surat peringatan 
pertama berlaku untuk jangka 6 (enam) bulan. Apabila pekerja/buruh melakukan 
kembali pelanggaran ketentuan dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau 
perjanjian kerja bersama masih dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan maka 
pengusaha dapat menerbitkan surat peringatan kedua, yang juga mempunyai jangka 
waktu berlaku selama 6 (enam) bulan sejak diterbitkannya peringatan kedua. 
Apabila pekerja/buruh masih melakukan pelanggaran ketentuan dalam perjanjian kerja 
atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat 
menerbitkan peringatan ketiga (terakhir) yang berlaku selama 6 (enam) bulan sejak 
diterbitkannya peringatan ketiga. 
Apabila dalam kurun waktu peringatan ketiga pekerja/buruh kembali melakukan 
pelanggaran perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, 
maka pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja. 
Dalam hal jangka waktu 6 (enam) bulan sejak diterbitkannya surat peringatan pertama 
sudah terlampaui, maka apabila pekerja/buruh yang bersangkutan melakukan kembali 
pelanggaran perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, 
maka surat peringatan yang diterbitkan oleh pengusaha adalah kembali sebagai 
peringatan pertama, demikian pula berlaku juga bagi peringatan kedua dan ketiga. 
Perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama dapat 
memuat pelanggaran tertentu yang dapat diberi peringatan pertama dan terakhir. 
Apabila pekerja/buruh melakukan pelanggaran perjanjian kerja atau peraturan 
perusahaan atau perjanjian kerja bersama dalam tenggang waktu masa berlakunya 
peringatan pertama dan terakhir dimaksud, pengusaha dapat melakukan pemutusan 
hubungan kerja. 
Tenggang waktu 6 (enam) bulan dimaksudkan sebagai upaya mendidik pekerja/buruh 
agar dapat memperbaiki kesalahannya dan di sisi lain waktu 6 (enam) bulan ini 
merupakan waktu yang cukup bagi pengusaha untuk melakukan penilaian terhadap 
kinerja pekerja/buruh yang bersangkutan. 
Ayat (3) 
Cukup jelas 
Pasal 162 
Cukup jelas 
Pasal 163 
Cukup jelas 
Pasal 164 
Cukup jelas 
Pasal 165 
Cukup jelas 
Pasal 166 


Cukup jelas 

Pasal 167 

Ayat (1) 

Cukup jelas 

Ayat (2) 

Cukup jelas 

Ayat (3) 

Contoh dari ayat ini adalah : 

§• 
Misalnya uang pesangon yang seharusnya diterima pekerja/buruh adalah Rp 
10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan besarnya jaminan pensiun menurut 
program pensiun adalah Rp 6.000.000,00 (enam juta rupiah) serta dalam 
pengaturan program pensiun tersebut telah ditetapkan premi yang ditanggung oleh 
pengusaha 60% (enam puluh perseratus) dan oleh pekerja/buruh 40% (empat puluh 
perseratus), maka : 

§• 
Perhitungan hasil dari premi yang sudah dibayar oleh pengusaha adalah : 
sebesar 60% x Rp 6.000.000,00 = Rp 3.600.000,00 

§• 
Besarnya santunan yang preminya dibayar oleh pekerja/ buruh adalah sebesar 
40% X Rp 6.000.000,00 = Rp 2.400.000,00 

§• 
Jadi kekurangan yang masih harus dibayar oleh Pengusaha sebesar Rp 
10.000.000,00 dikurangi Rp 3.600.000,00 = Rp 6.400.000,00 

§• 
Sehingga uang yang diterima oleh pekerja/buruh pada saat PHK karena pensiun 
tersebut adalah : 
¦ Rp 3.600.000,00 (santunan dari penyelenggara program pensiun yang 
preminya 60% dibayar oleh pengusaha) 
¦ Rp 6.400.000.00 (berasal dari kekurangan pesangon yang harus di bayar oleh 
pengusaha) 
¦ Rp 2.400.000.00 (santunan dari penyelenggara program pensiun yang 
preminya 40% dibayar oleh pekerja/buruh) 

_ + 
Jumlah Rp12.400.000,00 (dua belas juta empat ratus ribu rupiah) 

Ayat (4) 

Cukup jelas 

Ayat (5) 

Cukup jelas 

Ayat (6) 

Cukup jelas 

Pasal 168 

Ayat (1) 

Yang dimaksud dengan dipanggil secara patut dalam ayat ini adalah pekerja/buruh 

telah dipanggil secara tertulis yang ditujukan pada alamat pekerja/buruh sebagaimana 

tercatat di perusahaan berdasar-kan laporan pekerja/buruh. Tenggang waktu antara 

pemanggilan pertama dan kedua paling sedikit 3 (tiga) hari kerja. 

Ayat (2) 

Cukup jelas 

Ayat (3) 

Cukup jelas 

Pasal 169 

Cukup jelas 

Pasal 170 

Cukup jelas 

Pasal 171 

Tenggang waktu 1 tahun dianggap merupakan waktu yang cukup layak untuk 

mengajukan gugatan. 

Pasal 172 

Cukup jelas 

Pasal 173 


Ayat (1) 
Yang dimaksud dengan pembinaan dalam ayat ini adalah kegiatan yang dilakukan 
secara berdaya guna dan berhasil guna untuk memperoleh hasil yang lebih baik untuk 
meningkatkan dan mengembangkan semua kegiatan yang berhubungan dengan 
ketenagakerjaan. 
Ayat (2) 
Cukup jelas 
Ayat (3) 
Yang melakukan koordinasi dalam ayat ini adalah instansi yang bertanggung jawab di 
bidang ketenagakerjaan. 
Pasal 174 
Cukup jelas 
Pasal 175 
Cukup jelas 
Pasal 176 
Yang dimaksudkan dengan independen dalam pasal ini adalah pegawai pengawas 
dalam mengambil keputusan tidak terpengaruh oleh pihak lain. 
Pasal 177 
Cukup jelas 
Pasal 178 
Cukup jelas 
Pasal 179 
Cukup jelas 
Pasal 180 
Cukup jelas 
Pasal 181 
Cukup jelas 
Pasal 182 
Cukup jelas 
Pasal 183 
Cukup jelas 
Pasal 184 
Cukup jelas 
Pasal 185 
Cukup jelas 
Pasal 186 
Cukup jelas 
Pasal 187 
Cukup jelas 
Pasal 188 
Cukup jelas 
Pasal 189 
Cukup jelas 
Pasal 190 
Cukup jelas 
Pasal 191 
Yang dimaksud peraturan pelaksanaan yang mengatur ketenagakerjaan dalam undangundang 
ini adalah peraturan pelaksanaan dari berbagai undang-undang di bidang 
ketenagakerjaan baik yang sudah dicabut maupun yang masih berlaku. Dalam hal 
peraturan pelaksanaan belum dicabut atau diganti berdasarkan undang-undang ini, 
agar tidak terjadi kekosongan hukum, maka dalam Pasal ini tetap diberlakukan 
sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini. 
Demikian pula, apabila terjadi suatu peristiwa atau kasus ketenagakerjaan sebelum 
undang-undang ini berlaku dan masih dalam proses penyelesaian pada lembaga 
penyelesaian perselisihan hubungan industrial, maka sesuai dengan asas legalitas, 
terhadap peristiwa atau kasus ketenagakerjaan tersebut diselesaikan berdasarkan 
peraturan pelaksanaan yang ada sebelum ditetapkannya undang-undang ini. 


Pasal 192 
Cukup jelas 
Pasal 193 
Cukup jelas 

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4279 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika informasi ini bermanfaat, mohon tinggalkan komentar disini...